Monday, October 25, 2004

senangnyaaaaa

senangnya senangnya senangnya....
kemarin, minggu 24 Oktober tu hari yang ber sejaraaaaaaahhh banget buat sisi... lalalalalaa... gw udah norak seharian dan hari ini gw mau norak lagi di blog gw...
cerpen gw dimuat di koran Tempo! hehehehe... seneng deh, soalnya sama sekali ga nyangka sama sekali ga ngarepin... emang sesuatu yang datang diluar ekspektasi itu efeknya berasa banget yaa...

dubidubiduuu...
cerpen itu buat papa yang ga henti2nya encourage sisi dari sisi masih keciiiill banget
buat mama yang bikin kangen

dan buat erlan yang hari minggu itu ngebangunin sisi sambil membentangkan koran yang berisi cerpen sisi sambil tersenyum lebar...
luv u muffin...
wouldnt be able to make it without you...

Sunday, October 24, 2004

ketika seratustujuhpuluh kelinci berlompatan dari kepalamu hari ini

Ketika Seratustujuhpuluh Kelinci Berlompatan dari Kepalamu Hari ini

Risyiana Muthia

Seratustujuhpuluh kelinci berlompatan dari kepalamu hari ini. Ada yang berwarna putih, hijau, coklat, ungu, abu-abu, transparan... wah banyak sekali. Aku tidak sempat mengamati satu-persatu karena mereka berlompatan dengan sangat cepat dan segera menghilang begitu menyentuh lantai kayu di auditorium gedung B yang dinginnya menusuk tulang.
Tapi meskipun kejadian berlompatannya kelinci-kelinci beraneka warna itu berlangsung hanya sekejap, dari sini jelas sekali terlihatnya. Aku bahkan bisa melihat kelinci terakhir, kelinci keseratustujuhpuluh – aku tahu mereka berjumlah segitu karena kelinci-kelinci itu memakai nomor punggung seperti pelari-pelari olimpiade – menggoyangkan buntutnya sebelum terjun deras ke lantai.
Dan kamu, oh kamu, seperti biasa tidak pernah tahu apa-apa. Kamu tidak pernah tahu. Dulu sekali, waktu ada burung dodo berlarian mengitari kakimu, kamu hanya diam, tanpa ekspresi. Sedangkan aku, nyaris beku karena kaget. Lalu dua hari lalu, waktu tigapuluhlima beruang madu berukuran mini menarik-narik bagian belakang kaos Mook kesayanganmu, kamu tak bergeming. Lalu hari ini, ketika seratustujuhpuluh kelinci warna-warni berlompatan dan terjun bebas dari kepalamu, kamu tidak bergerak sedikitpun! Sungguh mengherankan. Matamu terus saja menatap nanar kedepan, tak jelas menatap atau memikirkan apa. Aku tahu pikiranmu sedang tidak berada disini, entah jauh dimana, pikiran siapapun tidak akan berada disini pada saat ini, di dalam ruangan yang dingin ini dengan dosen serta pelajaran yang begitu membosankan dan membuat siapa saja menjadi gila. Semua orang diruangan ini pasti sedang memasang sayap pada gumpalan pikiran mereka, atau mengecek mesin, mengisi bahan bakar, dan membiarkan gumpalan pikiran itu lepas landas terbang dan melayang-layang hingga akhirnya meletup dan menaburkan serbuknya pada satu titik tema dalam kehidupan.
Untukku, satu titik tema kehidupan itu adalah kamu. Gumpalan pikiran milikku selalu meletup dan menaburkan serbuknya tepat diatas kepalamu. Semakin kupikirkan rasanya semakin kutemukan korelasi antara binatang-binatang aneh yang sering terlihat mengitarimu itu dengan serbuk yang berjatuhan dari letupan pikiranku. Setiap kali gumpalan pikiran itu meletup, binatang-binatang itu selalu muncul, mengagetkanku, tapi tidak dirimu. Sampai sekarang, belum pernah rasanya ada binatang yang begitu anehnya sampai mengagetkanmu dan membuatmu menoleh, atau setidaknya berhenti sejenak dari usahamu untuk menerbangkan gumpalan pikiranmu sendiri.
Aku tidak pernah tahu kemana kamu menerbangkan gumpalan pikiranmu. Atau mungkin aku tidak mau tahu. Yang jelas, belum pernah ada kelinci yang tiba-tiba melompat dari balik rokku, atau berang-berang yang menarik-narik kaus kakiku. Jadi yah, begitulah.
Ah, coba lihat. Ada yang menyembul dari belakang kursi tempat kamu duduk. Ya ampun, itu kan kecoa Madagaskar, besar sekali! Sayapnya bergerak-gerak dan bergesek menimbulkan bunyi desis yang mengerikan dan membuat bulu kuduk berdiri. Ah bukan cuma satu, ada dua, tiga, empat, ada lima kecoa Madagaskar yang sedang merayap dibelakang kursi tempat kamu duduk! Ini menggila, aku merinding sekali. Mereka sedang merayap kearah bahumu. Tidakkah kamu takut? Ayo cepat menoleh, masa tidak sadar juga? Kamu harus sadar sekarang atau kecoa-kecoa itu akan segera merayapi lenganmu!
Kamu menoleh sedikit, akhirnya, dan kecoa-kecoa itu meletup dengan bunyi ‘pop!’ pelan meninggalkan asap berwarna putih dibekas tempat mereka meletup. Dan kamu, seperti tidak sadar akan apa yang sedang terjadi, kamu berpaling lagi, mungkin kembali sibuk menerbangkan gumpalan pikiranmu.
Bel yang menjerit segera membuat gumpalan pikiran yang sedang meletup-letup diatas kepalamu terhisap dengan cepat kembali kedalam kepalaku. Lalu aku menemukan diriku berada disini, diruangan yang dingin ini, berisi enampuluhdelapan mahasiswa yang sedang berusaha menangkap kembali gumpalan pikiran mereka masing-masing yang berterbangan dimana-mana. Beberapa begitu susah ditangkap sehingga harus dikejar-kejar. Gumpalan pikiranku sendiri cepat sekali kembali, memaksaku membereskan buku-buku dan file yang sejak tadi tertumpuk tanpa guna diatas meja.
Seperti tidak pernah sadar akan apapun, tiba-tiba kamu melintas disamping kursi tempat aku duduk. Tanpa menoleh, tanpa bertanya apapun tentang binatang-binatang yang sedari tadi berkeliaran didekatmu. Tidakkah kamu tahu bahwa aku satu-satunya orang yang tahu dan mengerti apa yang terjadi pada dirimu? Tidakkah kamu ingin tahu, mengapa binatang-binatang itu selalu ada?
Aku berjalan, pelan dibelakangmu, dipisahkan oleh tigabelas mahasiswa yang berbaris ribut didepanku mengantre untuk keluar lewat pintu yang hanya satu untuk ruangan sebesar ini. Dan kamu, didepan sana, sudah hampir mencapai pintu. Kamu begitu tenang, begitu sunyi, seperti mengambang. Padahal aku tahu, dalam hitungan detik saja sebentar lagi binatang-binatang itu akan bermunculan lagi.
Dan benar saja, tepat ketika aku mencapai pintu, aku melihatmu bersandar dipojokan koridor, mengambil sesuatu didalam tasmu. Kamu mengambil sebotol air mineral, begitu segar, begitu jernih. Kamu hendak meminumnya. Oh tidak, tidakkah kamu lihat apa yang ada di dasar botol itu? Cacing, cacing, begitu banyak cacing, begitu tipis, hitam dan berlendir, lengket, lembek. Beberapa mulai mengambang kepermukaan. Jangan masukkan cacing itu kedalam tenggorokanmu! Jangan! Jangan! Tidakkah kamu melihatnya?
Botol minum itu terhempas, airnya bercipratan kemana-mana dan menggenangi lantai. Cacing-cacing itu beringsut keluar dari bibir botol, begitu pelan, begitu liat, begitu menjijikkan. Slow motion. Lalu air mulai mengalir pelan terbawa oleh miringnya lantai, ke kiri, ke kanan, kemana-mana. Cacing-cacing juga mengalir. Kekiri, kekanan, kemana-mana, lalu mencair bersama air.
“Apa-apaan sih? Kamu ngapain?”
“Air itu... dan cacing...”
“Cacing? Cacing apaan? Have you lost your mind?”
Tidak. Tentu tidak. Aku menyelamatkanmu dari cacing-cacing itu, dari cacing-cacing yang hendak mengalir ke tenggorokanmu. Aku menyelamatkanmu. Tidakkah kamu sadar?
Lalu mata itu. Matamu. Menatapku. Tajam, begitu tajam, namun penuh tanda tanya. Kamu bingung? Kamu pasti bingung. Kamu pasti tidak melihat cacing-cacing itu. Seandainya kamu tahu, kamu pasti berterima kasih padaku, lalu aku bisa dengan leluasa bercerita padamu tentang binatang-binatang yang selalu mengelilingimu, sekaligus memperingatkanmu akan binatang-binatang mengerikan yang sesekali muncul.
Lalu mata itu. Mata. Bukan hanya sepasang. Tapi berpasang-pasang. Berpasang-pasang mata menatapku saat ini. Begitu banyak. Begitu ramai. Ada yang menatapku dengan heran, dengan geli, dengan kasihan, dengan mencemooh. Begitu banyak. Begitu banyak mata. Menatapku. Menelanjangiku.
Ah mereka tidak mengerti. Mereka semua tidak mengerti. Beberapa mulai berbisik-bisik, menunjuk-nunjuk kearahku dan genangan air itu. Tidak sopan! Hentikan! Kalian semua cuma tidak mengerti!
Aku tidak suka ditelanjangi. Maka itu aku berlari. Aku berlari seperti lalat yang melintasi taman, seperti belalang yang melompati padang, seperti... lari. Aku berlari terus melewati berpasang-pasang mata yang terus berusaha menelanjangiku. Mereka melucuti pakaianku, mereka merampasnya. Aku lari. Aku harus terus berlari.
Aku tidak suka telanjang. Aku tidak suka berpasang-pasang mata mengamati bagian-bagian tubuhku. Mengukur dan membandingkan ukuran payudaraku, menghitung setiap gumpal selulit, menatap tajam pada setiap bekas luka gigitan nyamuk, mengamati kemaluanku. Aku tidak suka telanjang. Maka satu-satunya tempat yang aman untuk ketelanjanganku adalah disini. Di tempat ini.
Di tempat ini semua orang berhak telanjang, tanpa malu, tanpa rasa takut. Maka aku berdiam disini, di bilik toilet paling ujung di dalam toilet perempuan di gedung H, gedung paling ujung di kampus ini. Aku meringkuk diatas kloset yang tertutup, menatap setiap inci ketelanjanganku tanpa rasa malu. Aku akan terus disini, menunggu pakaianku terbang kedalam toilet ini, sehingga aku bisa keluar tanpa telanjang, tanpa rasa takut itu.
Aku menunggu, dan terus menunggu. Gumpalan pikiranku mulai merayap pelan keluar dari kepalaku. Dia hendak terbang. Aku ingin mencegahnya, karena aku tahu kemana dia hendak terbang, meletup dan menjatuhkan serbuk. Aku juga tahu bahwa binatang-binatang itu akan segera muncul lagi disekitarmu. Aku tidak ingin itu terjadi karena aku sedang tidak bisa menjagamu sekarang.
“Nggak bisa dipercaya. Gue nggak percaya ada aja yang begitu.”
“Maksud lo?”
“Ya begitulah. Nggak tau dimana urat malunya. Emang sih dari kemarin-kemarin dia udah sering begitu. Maksud gue, sengaja mondar-mandir didepan Dimas, ya masih bisa lah diterima. Tapi, kalo mondar-mandirnya bener-bener mondar-mandir... maksud gue bolak-balik tanpa jelas tujuannya, itu kan aneh. Gila malah menurut gue. Anak itu bolak-balik tiap setengah menit, di depan Dimas! Padahal nggak ada apa-apaan. Dan tiap dia bolak-balik tu matanya bener-bener menatap Dimas! Gila!”
“Yah, namanya juga cari perhatian. Tapi kayaknya anak itu emang beneran aneh. Gue kan selalu sekelas sama dia di kelas Komposisi Bahasa, barengan Dimas juga. Anak itu, selalu duduk dua bangku di belakang Dimas, dan yang lebih aneh lagi, selama hampir dua jam di dalam kelas, matanya nggak pernah lepas dari Dimas. Gue tau soalnya gue sering curi-curi pandang ke arah dia. Belum pernah sekalipun gue mergokin dia nggak sedang menatap Dimas, matanya pasti selalu ke Dimas.”
“Lebih nyeremin lagi karena anak itu emang beneran misterius ya? Maksud gue, kita nggak pernah bener-bener tau dia karena dia emang jarang banget ngomong sama kita-kita. Dia kan selalu sendirian gitu ya? Dulu sebelum sering sekelas sama Dimas, gue aja nggak nyadar kalo anak itu ada!”
“Tapi sekarang kita semua nyadar... hahaha...”
“Yah... begitulah... lucunya lagi Dimas sendiri nggak pernah bener-bener nanggepin segala kelakuan anak itu. Ya kan?”
“Hahahaha... iya! Dan tadi tu emang bener-bener heboh! Saking frustasinya dia nyoba narik perhatian Dimas, bisa-bisanya dia sampai ngebanting botol minumnya Dimas! Gila! Hahahaha... nggak ada cara lain ya buat narik perhatian? Dandan kek, gimana bisa diperhatiin kalo tampang aja kayak orang sakit begitu. Hahahahaha...”
“Bloon... hahahahahaha...”
Salah. Semua salah. Mereka semua cuma tidak mengerti. Aku hanya mencoba menyelamatkan dia dari cacing-cacing itu. Aku hanya memperhatikannya karena binatang-binatang aneh selalu mengelilingi dirinya. Aku hanya ingin memberitahu dia, memperingatkan dia, bicara padanya...

-Depok, 23 Juni 2004-

Friday, October 15, 2004

at the night when i shut myself

at the night when i shut myself (black ode for thinker-bell)

the cause of this brain
catastrophe
the seizer of my mind
overflowed
with prodigious amounts of thoughts
in myriad forms
and shapes and contours and lines and moulds
so uncontrollable
turbulently on tenterhooks

thinker-bell,
last night
i shut myself
try to hush the calamity
inside
there in silence
i drew a map of my brain
only to discover that

you were attached
to every single speckle
of my contemplation

-----sisie-----
Wed, Oct 13-04
-1750-

..............................................

the lost community

Lagi-lagi diluar sedang nggak hujan, tapi gw ingin sekali menulis ini. Tentang komunitas yang tersesat. Seperti judulnya yang mungkin menyesatkan, gw nggak sedang bicara tentang sekelompok backpacker yang lenyap di hutan belantara di Rio Cariyacu, Peru, juga nggak sedang membicarakan sekte-sekte yang dianggap beraliran sesat, apalagi membicarakan sekelompok anak muda yang memilih jalan yang sesat di Jakarta yang panas ini! (hahaha... apaan sih lo sie... )

Anyway, komunitas yang sedang gw bicarakan ini adanya dekat sekali disini. Dekat sekali, di kampus gw sendiri.

Seperti yang mungkin sudah diketahui secara umum, setiap tahunnya UI selalu menambah jumlah kuota mahasiswa. Hal ini sudah membuat gerah banyak orang baik dari kalangan mahasiswa sendiri sampai ke kalangan umum di luar UI, dan rasanya sudah terlalu banyak dibicarakan sehingga nggak perlu gw singgung-singgung lagi di tulisan ini. Gw sendiri termasuk orang yang gerah dengan kebijakan ini. Gw nggak tau apa alasan lain dari kebijakan penambahan kuota ini selain dari alasan yang sangat praktis yaitu materi!

Oh ok, mungkin ada yang akan berargumen mengenai perluasan kesempatan bagi masyarakat untuk mendapat fasilitas pendidikan yang berkualitas dan layak. Jadi, konon, dengan menambah kuota mahasiswa yang diterima setiap tahunnya, UI bertindak bijak dengan menyediakan kesempatan yang lebih luas bagi calon mahasiswa yang ingin menikmati pendidikan yang bermutu dan fasilitas yang baik, apalagi tahun ini kuota bertambah hampir dua kali lipat jumlah kursi mahasiswa baru tahun kemarin. Bayangkan saja luasnya kesempatan yang ditawarkan.

Hmmm... menarik. Menurut gw alasan tersebut sangat logis dan bisa gw terima. Tapi gw nggak akan membuat tulisan ini kalau nggak ada sesuatu yang salah dengan alasan tersebut.

Oke, gw ambil contoh aja kejadian hari ini. Hari ini gw terpaksa harus berlari-lari ke perpustakaan tepat setelah bel tanda pelajaran berakhir berbunyi. Kelas gw adanya di lantai dua, dan gw tentunya harus menuruni tangga untuk bisa keluar dari gedung itu. Siapapun yang pernah ke Fakultas Ilmu Budaya, UI, pasti tau gimana serunya berjalan di tangga gedung-gedung di FIB. Tangga yang begitu minimalis, ramping dan hemat tempat, lebarnya hanya cukup untuk dilalui oleh dua orang saja, itupun harus ekstra hati-hati agar tidak saling bertabrakan.
Serunya tangga di FIB gw alami betul2 hari ini. Tepat ketika bel berdering dan gw bergegas keluar dari pintu kelas, yang pertama kali gw lihat adalah lautan manusia. Begitu banyak orang dari berbagai arah. Ada yang ingin ke kiri, ke kanan, masuk kelas, ke luar kelas, mencari kamar mandi, naik tangga, turun tangga, dari segala penjuru! Seru sekali memang, apalagi gw benar-benar harus bergegas untuk pergi ke perpustakaan. Entah berapa manusia yang gw tabrak saat gw mencoba berlari-lari kecil untuk keluar dari gedung itu. Dan semuanya tentunya menjadi semakin seru ketika gw berusaha untuk menuruni tangga. Disaat gw hendak berusaha turun, gw terpaksa harus berhenti sesaat karena tangga dipenuhi dengan antrian orang yang hendak turun serta naik pada saat yang bersamaan. Sungguh membingungkan, dan makan waktu! Memang tidak terlalu lama, tapi gw sungguh nggak habis pikir kenapa untuk turun tangga saja harus mengeluarkan usaha sesusah itu.

Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa sih gw harus terburu-buru keluar dari gedung itu? Toh kalau gw santai-santai saja tentu efeknya tidak akan sedramatis itu dan tidak akan banyak orang yang gw tabrak siang tadi. Jawabannya adalah karena gw harus segera sampai di perpustakaan! Soalnya gw ingin mengerjakan tugas disana. Harus buru-buru! Kalau tidak...

Kalau tidak gw nggak akan dapat kursi di perpustakaan. Seperti tadi siang. Perpustakaan begitu penuh. Di lantai satu, lantai dua, lantai tiga, semua dipenuhi manusia-manusia yang sibuk mengerjakan urusan mereka masing-masing. Oke, karena perpustakaan penuh, akhirnya gw nggak jadi mengerjakan tugas. Mungkin nanti sajalah, di kostan... gw lebih memilih untuk makan siang aja dulu. Jadilah gw berjalan ke Kansas, kali ini lebih santai.

Apa?? Lo mau ke Kansas pas jam makan siang?? Becanda lo! Kansas pas jam makan siang tu udah nggak kaya kantin. Nggak layak banget, panas, asap dimana-mana, dan begitu banyak orang sampai-sampai untuk berjalan saja harus antri. Jangan tanya soal antrian makanan, kalau sedang beruntung makanan-makanan yang dipesan bisa datang dalam selang waktu sepuluh menit. Kalau nggak beruntung? Silakan berharap, karena pesanan anda akan diselak terus. Diselak, tanpa terelak. (apaan sih lo sie...)
Tapi mana bisa pesan makanan juga lagian, kursi aja nggak ada. Lo sangat beruntung kalau bisa menemukan kursi nganggur di Kansas pas jam makan siang. Cuma satu kata buat Kansas pas jam makan siang... nggak ding... dua kata... f**king crowded!

Akhirnya karena perut gw nggak bisa berkompromi untuk bersabar tanpa diisi, terpaksa gw dan beberapa (baca: banyak) korban lain pada hari itu terpaksa memilih untuk mengungsi. Kantin sasaran ya apa lagi selain Balgebun atau Takor, soalnya emang dua itu yang paling dekat. Tapi...

Tapi ya nggak mungkin lah! Anak-anak FISIP dan Fasilkom aja ngungsinya ke FIB! Pas mereka ngungsi mungkin juga mereka mengalami nasib yang sama seperti yang gw dan beberapa (baca: banyak) korban dari FIB siang tadi. Terus kalau sudah begini, apa yang bisa dilakukan lagi?
Mau ke perpustakaan, penuh. Mau ke warnet untuk nyari tugas, penuh. Mau ke kantin nggak ada tempat. Lalu harus kemana lagi?
Akhirnya yang ada ya itu tadi. Muncul komunitas-komunitas tersesat di UI. Komunitas yang nggak tau harus kemana lagi, karena manusia-manusia di UI sudah overpopulated sehingga komunitas-komunitas tersesat ini nggak kebagian fasilitas!

Kalau UI berargumen, atau katakanlah, membela diri dengan mengatakan bahwa penambahan kuota adalah demi perluasan kesempatan bagi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas dan layak, maka komunitas tersesat di UI harusnya tidak ada. Harus segera dilenyapkan. Diekstradisi. Supaya mereka tidak semakin bingung dan menggila karena tersesat.

Lalu gw pun bisa menikmati tongseng ayam di Kansas pada jam makan siang dengan damai...

Fri, Oct 15, 04
----0126----

Wednesday, October 13, 2004

the sublime philosophy

ok, the sublime...kyny kata itu bakal tinggal lama di dalam kepala gw ha..ha..ha...
setelah berminggu-minggu gw memegang kita suci berjudul The Sublime and Beautiful akhirnya gw bisa juga mengerti esensi dari filosofi si sublime hehehe...well..mungkin nggak mengerti juga sih, lebih tepatnya tersentuh, tergerak, tergoyah...ha ha ha...

no, really...selama berminggu-minggu gw udah menganggap kitab itu sebagai teman tidur sekaligus obat tidur yang setia (soalnya setiap baca maksimal tiga kalimat aja dari buku itu gw langsung... zzzzzzzz ....bobo hehehehe)
sampai akhirnya kemarin gw tersadar kalau hari ini gw harus mempresentasikan kitab maha suci itu. dua kata doang yang terlintas kemarin.

mati gw.

maka mulailah gw memaksakan diri gw lompat kedalamnya. dan menarik banget. really, banyak banget yang gw temui disana.

bahwa pencapaian sebuah satisfaction dan pemerkayaan jiwa tidak melulu bisa di dapat melalui imej-imej indah dan pengalaman batin yang memanjakan indera dan membebaskan imajinasi-imajinasi paling menyenangkan.
ada sesuatu yang jauh lebih dalam daripada itu.
it's the inward satisfaction, through the sublime.
bahwa terror, fear, pain dan astonishment, the state of soul in which all its motions are suspended with some degree of horror, menawarkan sesuatu yang jauh lebih dalam daripada kepuasan yang didapat lewat hal-hal yang indah.

it's something that you can get through your senses, actually. something derives from the nature itself, or actually, from how you see the nature.
just like i've said before, it's an astonishment, where you see something so grandeur, something vast, something infinite, something magnitude and magnificent, something obscure, something so powerful and omnipresent which makes you shrink into the minuteness and nothingness.

itu semua ada di alam, dan menawarkan pengalaman batin yang berjudul si sublime tadi.

pikirkan apa yang kamu rasakan ketika kamu melihat lautan luas yang seolah tidak terbatas, langit maha tinggi yang penuh berjuta bintang yang mustahil kamu hitung, tebing yang curam dan kasar, jurang yang dalam yang tidak bisa kamu perkirakan kedalamannya, hutan yang gelap, penuh dengan pohon-pohon maha besar dengan dedaunan yang lebat.
maka kamu akan merasa sangat kecil, merasa obscure, afraid, when you do not know the full extent of the danger you might experienced, when you experienced a great deal of apprehension that is entirely filled your mind...

trembling...
powerless...

tarik napas dulu ah...
hehehehehehe....

pengalaman emosi seperti itu, disaat kamu bisa melewati fase fear, pain dan surrender to its grandeur, maka kamu sudah mengalami sublime...
dan perasaan sublime ini jauh lebih membekas dan berharga dari pengalaman emosi yang kamu dapat dari sesuatu yang tidak strikingly disturb your security seperti imaji-imaji yang menyenangkan hati...

bisa gila gw lama-lama...
hahahahaha...
tapi ini sangat menyenangkan, membuat gw bisa berpikir dalam-dalam tentang segala sesuatu yang ada di sekitar gw dan nggak melulu menyerah pada pikiran-pikiran indah yang menghangatkan hati.

mungkin malam ini gw akan tidur larut dan melihat bintang

kalau bintangnya ada...

luv you muffin
^_^



..............
could it be possible to be a deep thinker and a pragmatist at the same time?
i dont know
yang gw tau adalah, gw selalu berusaha memikirkan segala hal yang gw temui, tapi di saat yang sama gw sering sekali merasa stuck akan semua itu, lalu men-shut down semua aplikasi yang sedang berjalan di kepala gw, untuk kemudian membiarkan diri gw mengecil dan terus mengecil sampai semua pikiran-pikiran yang sedang berseliweran di kepala gw itu terasa begitu jauh dan berhenti mengusik gw.
i became really pragmatic.
pragmatic towards everything.
numb, if i could say.

ada keinginan yang begitu besar untuk mengerti semuanya, menjelaskan semua hal yang gw rasakan dan gw lihat. tapi disaat gw tidak bisa mencapai titik itu, semuanya menjadi
.........
mati








Tuesday, October 12, 2004

deep inside of you...

when we met light was shed
thoughts free flow you said
you've got something
deep inside of you


- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - muffin i'm drowned

sigh

luv u


sexy thought...

i was thinking of making a poem, a very short one perhaps, to start my blog... but right now my mind is so mixed up, jaded, confused, blah blah blah...gak jelas gitu pokonya...umm...sering sih gw berada di keadaan pikiran yang kaya gini...terutama gara2 kejadian akhir2 ini (he..he...) but it's getting worse and worse and i dunno why...

sekarang aja gw terjebak di dalam warnet sastra, ga ngerti mau ngapain....harusnya baca The Sublime and Beautiful nya Edmund Burke tapi dari kemaren kemaren pembatas buku gw nggak berpindah2 letaknya, tetep di halaman yang itu-ituuuu ajaa...and again...i dunno why...

di luar nggak hujan, tapi banyak banget yang gw pikirin. sialnya lagi pikiran-pikiran itu seperti berjejalan tanpa kompromi di dalam otak gw, saling bertindihan dan berseliweran seenaknya tanpa bisa gw kontrol.
gw nggak ngerti kenapa... kadang-kadang gw pikir semua itu salah gw sendiri, karena dengan kurang kerjaannya membiarkan pikiran-pikiran yang begitu banyak, dan luas, dan memusingkan itu bisa menyelip masuk ke dalam otak gw.
gw kan nggak harus mikirin semuanya!

mungkin akan menyenangkan kalau gw bisa figure out way how to membuat segala rupa pikiran-pikiran yang menggila itu lebih masuk akal, praktis dan terorganisir...but then again, gw emang harus banyak belajar lagi...

so i dedicate this first writing untuk seseorang yang menjadi salah satu dari sekian banyak pikiran-pikiran membingungkan yang mengisi kepala gw akhir-akhir ini. satu titik kecil yang melompat masuk kedalam pikiran gw,tinggal disana dan seperti virus, menulari titik-titik lain yang ada di dalam pikiran gw itu, menyebar dengan cepat dan menciptakan bermacam-macam titik-titik pikiran baru hahaha....

kamu membingungkan
bukan
..........
aku yang membingungkan