Wednesday, April 27, 2005

Simple Joy of Life?

I’m happy. This is even more than simple joy of life.
I’m happy… no matter how people say how insignificant it is.
To me it IS significant. And I’m hopping… hop… hop…

:)
This is the short story; it was on Koran Tempo, Sunday April 24th 2005. And I’m so blissful. One in the paper was the edited one (the edited one is better, really… thanx to the editor), this one is unedited. Hope you might enjoy the short story, as for myself, I like this one better than the previous one (the Ketika Seratustujuhpuluh Kelinci Berlompatan dari Kepalamu Hari Ini) because when I was making this one, it’s so intricate, it’s like making a puzzle game. Enjoy, hope you could solve the puzzle.

Thank you so much mum and dad for always supporting me
and for the fat pig, who loves cats better than he loves humanity (and yes I’m beginning to be able to see it from his point of view), I love you so much, if it wasn’t because the discussion I had with you, all the rather harsh critics, all the saying of ‘cerpen lo tu hampir sama jeleknya sama cerpen2 sastra Indonesia yang lain, yang sok bermain simbol padahal sebenernya ga ada isinya…’ or ‘lo bermain analogi tu cuma di permukaan aja, you should be more focus on the plot, not just on the details’, I would not be able to make this. I love you so much, really really.
>HUG<



Ibuku Menjahit Sayap

-Risyiana Muthia-



Kalau ada yang bertanya, apa yang terlintas dibenakku ketika mendengar kata ‘Ibu’, kata yang pertama kali muncul adalah... sayap. Lalu yang kedua adalah... mati.
Kalau kemudian mereka lanjut bertanya mengapa sayap dan mengapa mati, maka aku akan meminta mereka untuk duduk manis di sampingku. Karena jawaban dari pertanyaan itu adalah awal dari sebuah cerita yang panjang sekali. Maka aku akan mulai memperingatkan mereka tentang panjangnya cerita ini, lalu kalau mereka bersikeras, aku akan menyarankan mereka untuk mengambil secangkir kopi pahit, atau teh hangat, atau biskuit-biskuit kecil, atau apapun yang bisa membuat mereka nyaman sambil mendengarkan ceritaku.
Sedang aku? ya sudahlah tidak usah kuatir tentang aku. Tentu saja aku akan tetap berada disini, dan dengan senang hati akan kuceritakan semuanya kepada mereka. Tidak usah kuatir, aku tidak merasa terganggu sama sekali. Aku sudah terbiasa bercerita tentang apa saja tanpa harus berhenti sejenak dari pekerjaan maha penting yang sedang kulakukan ini. Maka tentu saja akan kuminta mereka untuk duduk diam sajalah mendengarkanku bercerita kalau memang ingin tahu. Hanya saja, mohon dimaafkan kalau aku tidak bisa selalu menatap lekat-lekat mata lawan bicaraku ketika bercerita. Maklum, pekerjaan maha penting ini harus segera selesai.
Rupanya kamu ingin mendengar ceritaku, ya? Baiklah. Biarkan aku memulai. Sudah siap dengan teh hangatmu? Bagus. Sekali lagi aku mohon maaf kalau aku tidak menghentikan sejenak pekerjaanku untuk bercerita kepadamu. Sama sekali bukan karena tidak hormat, jadi yah... maklum sajalah.
Ibuku. Ibuku adalah sayap. Ibuku adalah sayap yang cantik. Lebih tepatnya lagi, ibuku adalah pembuat sayap yang cantik. Hampir sepanjang kemampuanku merekam keberadaannya dalam ingatanku, tidak pernah sekalipun terbayang dirinya tanpa sepasang rangka sayap raksasa yang selalu ada di pangkuannya setiap malam, setiap hari dalam hidupnya. Rangka sayap itu begitu besar dan kokoh, dan diatasnya, tersulam dengan rapi ratusan bahkan ribuan helai-helai bulu halus putih yang dijahitkan oleh ibu satu demi satu pada malam demi malam.
Aku ingat, ketika usiaku belum genap delapan tahun, pernah aku bertanya pada ibu untuk apa ibu menjahitkan ratusan bahkan ribuan helai-helai bulu halus putih itu setiap malam pada sepasang rangka sayap raksasa itu. Untuk membuat sayap, begitu katanya, sayap yang bisa membawa terbang, lanjutnya lagi sambil menyunggingkan senyum cantik, senyum paling cantik yang pernah kulihat. Lalu ibu akan memintaku mengambilkan sebuah keranjang kayu yang teronggok di sudut ruangan untuk diletakkan di dekat kakinya yang terus saja menjahit helai-helai bulu halus putih pada rangka sayap itu. Kulongok isi keranjang, isinya helai-helai bulu halus putih lagi, saling bertumpukan seperti kapas yang baru dipetik dari pohonnya.
Lalu aku ingat, ketika itu aku juga sempat bertanya, dari mana Ibu mendapatkan helai-helai bulu itu. Begitu halus, lebih halus dari helai bulu apapun yang pernah kusentuh. Juga, begitu putih dan murni, tidak ada setitikpun noda ataupun bercak diatas halusnya. Dan entah bagaimana caranya dan darimana mendapatkannya, setiap malam, keranjang kayu itu selalu saja dipenuhi helai-helai bulu halus putih yang baru, meskipun pada malam sebelumnya, kesemuanya telah ia jahitkan pada sepasang rangka sayap raksasa itu.
Helai-helai bulu halus ini, datang dari cinta, anakku. Kata ibu ketika itu.
Aku hanya diam dan mengiyakan. Tidak paham benar apa maksud Ibu. Tapi tahun demi tahun berikutnya, ketika aku mulai beranjak besar dan bulan demi bulan sudah kulalui merintih sakit khas perempuan, aku mulai memikirkan kembali jawaban Ibu atas pertanyaanku ketika itu. Cinta? Cinta apakah? Cintakah yang memproduksi helai-helai bulu halus putih itu sehingga setiap malam selalu ada di dalam keranjang kayu milik Ibu? Cintakah yang membuat ibu begitu tekun dan tanpa henti menjahitkan helai-helai bulu halus putih itu pada sepasang rangka sayap raksasa setiap malam? Cintakah? Cinta pada siapakah?
Waktu itu aku hendak menanyakannya lagi pada Ibu, tapi urung karena malam itu Ibu terlihat begitu lelah, meski ia terus menjahitkan helai-helai bulu halus putih itu pada sepasang rangka sayap yang kini sudah nyaris seluruhnya berwarna putih tertutup bulu. Tinggal beberapa bagian saja yang masih berupa rangka, rupanya pekerjaan Ibu sudah hampir selesai.
Sementara itu, entah bagaimana dan tidak kumengerti kenapa, tubuhnya terlihat semakin lemah. Ia memang tetap cantik, dibalik cekungnya mata dan tirusnya pipi. Juga tubuh yang ringkih bagai tulang dibalut kulit, kulit yang kering dan berkeriput. Namun betapapun ringkihnya ia, betapapun gemetar tangannya ketika merajutkan helai bulu itu, ia tetap menjahitkannya pada rangka sayap raksasa itu. Dengan perlahan, dengan lembut, dengan pasti.
Ibu, berhenti dulu lah. Kataku.
Tidak bisa, anakku. Tidak bisa berhenti. Ini harus segera selesai. Katanya.
Tapi untuk apa, Ibu? Sudah bertahun-tahun Ibu mengerjakan pekerjaan ini. Berhentilah barang sejenak. Tidak bisakah semalam saja Ibu langsung terlelap tanpa menjahit? Semakin kurus saja tubuh Ibu. Ibu perlu istirahat.
Tidak bisa, anakku. Setiap helai bulu, yang ada pada hari ini, harus segera terpasang pada tempatnya. Tidak bisa dibiarkan teronggok pada keranjang begitu saja. Harus segera terpasang, harus segera terjahit. Maka dari itu Ibu tidak bisa begitu saja tidur tanpa menjahit.
Kalau begitu jangan cari lagi bulu-bulu itu, Ibu! Suaraku menjadi meninggi.
Jangan lagi Ibu cari bulu-bulu itu, jadi keranjang itu tidak perlu terisi, dan Ibu bisa memejamkan mata tanpa harus menguras tenaga terlebih dahulu. Sudahlah, Ibu. Jangan cari lagi. Tidur saja lah.
Anakku. Kata Ibuku, matanya menatap lembut.
Tidak pernah sekalipun bulu-bulu halus putih ini ibu cari. Tidak pernah sekalipun. Setiap hari ia selalu muncul sendiri dan mengisi keranjang kayu. Apapun yang Ibu kerjakan pada siangnya, bagaimanapun Ibu berupaya menjalani hari dengan berbeda, bulu-bulu halus putih itu selalu muncul sendiri dan setiap helai bulu yang ada harus segera dijahit sampai tuntas. Tidak boleh ada yang tersisa. Maka dari itu Ibu terus menjahit, sayangku.
Aku menghela napas panjang. Lalu duduk di sudut kaki Ibu. Kuulurkan tanganku dan mulai memijat lembut mata kakinya. Kaki yang merenta.
Baiklah kalau memang demikian, Ibu. Tapi bahkan tidak bolehkah aku bertanya, mengapa helai-helai bulu putih dan halus itu harus segera dijahitkan? Untuk apa, Ibu?
Ibu terdiam. Lama sekali. Tidak sepatah kata. Meski jemarinya tidak henti menjahit bulu-bulu halus putih itu.
Lalu tiba-tiba ia menatapku, tajam.
Anakku. Sayap dibuat untuk terbang. Ibu harus menjahit setiap helai bulu yang ada agar pekerjaan ibu segera selesai. Jadi Ibu tidak perlu menjahit lagi dan Ibu bisa beristirahat. Lalu sayap ini, sayap raksasa ini, bisa menjalankan tugasnya yang utama, membuat terbang.
Aku terdiam, saat itu tidak begitu kumengerti maksud Ibu. Kupijat-pijat kakinya dan kubiarkan ia terus menjahit sampai habis bulu-bulu halus putih pada keranjang kayu itu. Tapi di dalam hatiku, aku bertekad untuk mencegah bulu-bulu halus putih itu datang mengisi keranjang kayu pada esok hari. Sehingga Ibuku bisa beristirahat tanpa harus menjahit, walaupun untuk semalam saja. Ia sudah terlalu lelah, sejenak istirahat akan sangat berarti untuknya.
Untuk itu, tentunya aku harus tahu dari mana bulu-bulu halus putih itu berasal.

Keesokan harinya, aku bertekad untuk tidak berangkat ke sekolah. Aku ingin mengikuti Ibu seharian, sehingga aku tahu dari mana bulu-bulu putih itu berasal. Ibu, tentunya jangan sampai tahu. Maka pagi itu, seusai sarapan, kucium tangannya dan berlagakku keluar dari pintu. Tapi tidak kuteruskan jalanku ke luar pagar, berbelokku dan bersembunyi.
Di pekarangan samping rumah, ada sebuah pohon beringin yang besar dan lebat sekali. Sulur-sulurnya berjuntaian sampai ke tanah. Aku memanjat pohon itu dan bersembunyi di sana. Dari atas bisa sangat leluasa melihat ke bawah, dan di bawah, di balik jendela, bisa kulihat dengan jelas Ibuku yang sedang mencuci piring bekas sarapan.
Tidak ada yang aneh, batinku. Sampai saat ini belum ada bulu-bulu yang tiba-tiba menyeruak dari balik punggung Ibu atau bertaburan dari langit secara mendadak. Lalu dimana? Tapi tunggu dulu, aku harus bersabar. Hari masih pagi.
Ibu mencuci piring. Setelah itu piring-piring yang sudah bersih dilap dan diletakkan pada rak piring. Kemudian Ibu merapikan meja makan dan mengganti air pada vas bunga. Semuanya biasa saja. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang janggal, aktivitas pagi hari yang sungguh biasa saja.
Tapi tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam kamar. Vas bunga yang ibu pegang terlepas dan jatuh. Pecah berantakan. Aku sungguh terkejut. Teriakan itu datangnya dari kamar Ayah. Ibu berlari bergegas meninggalkan dapur, aku bisa melihat wajahnya memucat.
Aku segera melompat dari atas pohon beringin. Berlari aku kearah suara itu. Dari balik jendela kamar Ayah, kucoba melihat apa yang terjadi di dalam. Di sana ada Ayah, Ayah ku. Telentang serampangan di atas tempat tidur. Di bawah tempat tidur, persis di sebelah kakinya yang menjuntai, ada genangan muntah. Tidak jelas muntah siapa, tapi hampir pasti itu muntah Ayah karena dia satu-satunya orang yang berada disana.
Waktu itu aku hanya bisa menatap dengan bingung dan mencoba mengingat-ingat. Ayah. Ayahku. Tidak pernah sekalipun aku merasa dekat dengannya. Selalu masih tidur ketika aku bangun dan berangkat sekolah. Lalu siang atau sore ketika aku pulang sekolah, tidak jarang masih juga ia terbaring di tempat tidurnya. Baru pada malam hari ketika aku sangat mengantuk, ia bangun dan pergi entah kemana. Makanpun selalu di kamar, diantarkan oleh Ibu. Tidak banyak bicara dan tidak banyak mengeluh. Hanya diam. Diam sendiri. Selalu diam. Dalam dunianya sendiri.
Hanya beberapa kali kudengar Ayah bersuara, keras, setengah berteriak. Tapi itupun dia lakukan di dalam kamarnya. Begitu sayup sehingga tidak jelas terdengar bicara apa, tapi selalu terdengar suara Ibu di sela-sela. Seperti juga berteriak, seperti tengah beradu mulut. Tapi tidak pernah benar-benar jelas apa yang dibicarakan.
Dan saat itu, kulihat dengan jelas, dan kali ini hampir pula bisa kudengar dengan jelas karena begitu lekat kutempelkan telingaku pada daun jendela, seraya tetap berupaya untuk tak terlihat. Kulihat Ibu berlari terpogoh-pogoh dengan wajahnya yang tirus dan semakin memucat, menghampiri Ayah.
Baaaanggsaaaatttt. Pelacur tuaaa! Kau letakkan dimana minumku itu, hah? Sudah tua tidak ada guna juga kau! Kembalikan!
Aku terkejut. Siapakah yang ia sebut sebagai pelacur tua? Ibuku. Ibuku jelas-jelas bukan pelacur. Dan seorang suami tentu tidak akan menyebut istrinya pelacur.
Kulihat Ibu menarik napas panjang. Diambilnya lap kumal yang teronggok di sudut kamar Ayah, lalu mulai mengelap genangan muntah di dekat kaki Ayah yang menjuntai itu.
Minumanmu sudah habis dari semalam. Botolnya sudah kubereskan. Apalagi yang kau inginkan? Tidak puas kau siksa aku sekarang kau siksa juga dirimu sendiri. Sudah begitu mabuk sampai muntah di kaki sendiri. Kalau tidak ada aku siapa lagi yang membersihkan?...
Breengsseeekkk!! Diam kau pelacur jalang!
Tiba-tiba saja kulihat kaki yang menjuntai itu seperti ujung cambuk yang terhentak melecut, begitu saja menerkam dan menerjang wajah Ibu. Begitu cepat, dan begitu seketika Ibu tersungkur. Diantara genangan muntah itu. Lalu Ayah bangkit dari tempat tidur dan kakinya yang besar itu mulai menghantam rusuk ringkih Ibuku.
Aku berteriak tertahan. Aku berlari, berlari secepat mungkin, menuju Ibuku yang sedang tersungkur. Aku berlari melintasi pekarangan rumah, masuk lewat pintu depan, dan terus berlari. Waktu itu hanya ada satu pikiran yang terlintas di kepalaku. Aku harus menolong Ibu. Maka aku terus berlari. Secepat-cepatnya.
Dari balik pintu yang terbuka, aku bisa melihat kaki Ayah yang dihentak-hentakkan olehnya menghantam rusuk Ibu. Aku berteriak. Rasanya ingin mengutuk mengapa kakiku, kaki ini begitu lambat bergerak. Seperti gerak lambat. Seperti hanya mengambang. Mengapa begitu lama sampai ke sana?
Tapi tiba-tiba saja, aku melihat banyak sekali helai-helai bulu putih menyeruak dari balik telapak kaki Ayah. Menyeruak, berjuta-juta, menyembur begitu cepat.
Setiap kali kaki Ayah menghantam Ibu, bulu-bulu putih itu menyeruak dalam jumlah yang sangat besar. Begitu banyak. Berterbangan.
Satu kali terjangan. Bulu-bulu terbang.
Dua kali terjangan. Bulu-bulu terbang.
Tiga kali terjangan. Bulu-bulu terbang.
Lalu Ayah beranjak keluar dari kamar, pergi menuju pintu depan, tanpa sempat memperhatikan aku yang sedang memperhatikannya.
Dan Ibu, Ibuku, terbaring telungkup tak bergerak di atas genangan coklat kekuningan muntah Ayah. Tangannya kapar tergeletak. Lalu rambut hitamnya yang tadinya tergelung, terurai berantakkan menutupi pipi, merambah bahu, dan menyatu, helai demi helai, mengambang perlahan, pada genangan itu. Tapi yang sungguh membuat takjub, di sekeliling tubuhnya yang tersungkur diam, bertebaran bulu-bulu halus putih dalam jumlah yang maha banyaknya. Ada yang begitu lembut menutupi sebagian tubuhnya, ada yang masih mengambang di udara, ada juga yang tergenggam dengan indah pada sela-sela jemarinya yang kapar tergeletak. Bulu-bulu yang begitu halus putih, diatas helai rambut hitam Ibu yang basah dan berantakan, dan genangan muntah Ayah yang coklat kekuningan. Putih, hitam dan coklat. Putih, hitam dan coklat. Putih, hitam dan coklat.
Begitulah, akhirnya aku mengetahui dari mana helai-helai bulu halus putih itu berasal, teman. Sudah habis teh hangatmu? Yah, mari diisi lagi. Sudah kukatakan kalau ini cerita yang panjang. Ah ya, memang ceritaku ini belum selesai, sabar dululah, aku tahu masih ada pertanyaan yang membayang dalam otakmu dan belum sepenuhnya terjawab oleh ceritaku ini, bukan? Sabar, sabar dululah, ayo dituang lagi tehnya. Aku akan bercerita lagi, tapi sekali lagi mohon maaf karena aku harus tetap bercerita sambil tetap melanjutkan pekerjaanku ini, teman. Seperti yang kukatakan tadi, pekerjaan ini harus segera selesai.
Selama waktu yang bahkan tidak bisa kucerna dengan otakku sendiri aku ingat betapa aku hanya terpaku diam ketika itu. Tidak tahu harus berbuat apa. Entah bagaimana, diantara kengerian yang kurasakan, aku bisa melihat betapa indahnya bulu-bulu halus putih yang berserakan di mana-mana dalam kamar itu. Tapi tiba-tiba tangan Ibu yang tadinya diam mulai bergerak pelan. Dan tersadarlah aku akan apa yang sedang terjadi. Perlahan kudekati Ibu dan kuguncang bahunya.
Ibu, Ibu...
Mata Ibu terbuka. Sayu menatap wajahku. Bibirnya bergumam. Sayup. Pelan.
Tolong bantu aku bangun, anakku. Terlalu banyak pekerjaan. Kali ini tidak bisa ditunda lagi sampai malam. Kali ini harus segera selesai.
Maka kubantu Ibu mengangkat tubuhnya. Dan ketika ia tegak berdiri, ia tidak berkata apa-apa lagi kecuali segera memunguti bulu-bulu halus putih itu yang bertebaran dimana-mana. Dikumpulkannya bulu-bulu halus putih itu sebanyak mungkin. Karena tidak muat lagi dikumpulkan dalam tangkupan tangannya, dibukanya bajunya yang telah setengah basah dan dijejalkannya bulu-bulu halus putih itu kedalam bajunya.
Aku terpaku diam. Tapi sorot mata Ibu yang menatap tajam dalam sayunya memaksaku untuk tidak diam. Lalu perlahan, kubantu Ibu memunguti bulu-bulu halus putih itu. Semuanya, sampai habis tak tersisa. Lalu kuikuti langkah kakinya.
Ibuku lalu pergi ke kamar sebelah. Disana ditumpahkannya bulu-bulu halus putih itu ke dalam keranjang kayu yang kosong menunggu. Aku tidak tahu lagi apa yang mesti kulakukan selain mengikuti gerak-geriknya. Lalu Ibu mengambil rangka sayap raksasa yang sudah hampir seluruhnya tertutup bulu putih itu dan mulai duduk menjahit.
Rangka sayap ini, anakku. Sudah hampir selesai.
Tidak lama lagi, ia bisa menjalankan tugasnya untuk terbang. Gumamnya seraya terus menjahit.
Aku terdiam menatap Ibu menjahit helai demi helai bulu-bulu halus putih itu. Ibu juga diam, terus bekerja. Setiap kali tangannya menjahitkan helai demi helai, jemarinya bergetar dan dadanya naik turun seperti menyengal napas. Dan ketika ia menjahitkan helai terakhir, aku bisa melihat betapa sempurnanya rangka sayap raksasa itu.
Rangka itu, kini tidak lagi rangka. Ia sudah berubah menjadi sepasang sayap raksasa yang sempurna. Begitu indah, begitu lembut, begitu putih. Rasanya siapapun bisa diterbangkan olehnya. Betapa indah. Betapa sempurna. Lalu kulihat Ibu tersenyum, dan kedua matanya yang sayu, berbinar indah.
Aku juga tersenyum, lama. Akhirnya selesai juga. Lalu Ibu berdiri, diusungnya sayap putih raksasa itu dengan kedua tangannya. Lama ia menatap, lalu ia mulai berputar. Berputar dengan senang.
Anakku, lihat! Bagus sekali bukan sayap ini? Lihat! Akhirnya selesai juga sayap ini. Coba lihat! Alangkah indahnya. Begitu putih, begitu putih karena cinta. Betapa indah.
Ibu mulai menari berputar-putar. Aku juga, turut bahagia untuknya. Lalu Ibu mencoba memasang sayap raksasa itu pada punggungnya, dan kami menari bersama, berputar dan melompat. Lalu sayap raksasa yang indah itu, yang begitu cantik dipenuhi bulu-bulu halus putih, dibelakang punggung Ibu, mulai mengepak perlahan.
Tiba-tiba ibu mulai terbatuk. Dan dari mulutnya, darah mengalir deras. Ibu terbatuk tanpa henti. Aku hanya bisa berteriak. Berteriak lama sekali. Kulihat darah yang mengalir itu mulai membasahi baju Ibu, terus turun ke lantai, lalu mengalir menuju bulu-bulu halus putih yang masih tersisa di dalam keranjang kayu. Sekejap saja kulihat bulu-bulu halus putih itu kini berubah warna. Semua merah! Semua merah seperti darah!
Dan Ibuku, Ibuku tidak lagi menari, ia terbatuk untuk yang terakhir kali, lalu tersenyum lembut ke arahku. Dan sayap putih yang terpasang di punggungnya itu mengepak semakin kerap. Menjalankan tugasnya. Membawa ia terbang. Dan ia pun terbang. Terbang untuk selamanya. Tidak lagi kembali.

Begitulah ceritanya, teman. Itulah sebabnya mengapa setiap kali aku mendengar kata ‘Ibu’, yang terlintas di dalam benakku adalah sayap, lalu yang kedua adalah mati. Karena sejak saat itulah Ibuku mati dan tidak pernah kembali. Terbang bersama sayap raksasanya. Oh iya, hampir lupa. Mungkin kamu bertanya-tanya apa yang kulakukan setelah itu. Yah, kamu tentu masih ingat dengan keranjang kayu yang masih berisi bulu-bulu halus putih yang telah menjadi merah itu, bukan? Keranjang kayu itu kubawa pergi, lalu aku segera mencari tempat di mana aku bisa duduk, dan mulai menjahit.
Mulai menjahit, tanpa pernah berhenti. Bahkan sampai sekarang ini, teman. Diatas rangka sayap yang juga raksasa, yang ketika itu kutemukan secara ajaib dibawah kolong tempat tidur ayah. Aku terus menjahit, menjahit tanpa henti. Maka dari itu sama sekali tidak bisa kuhentikan pekerjaanku ini, bahkan untuk berbincang denganmu. Sayap ini harus segera selesai.
Tapi tentu saja rangka sayap yang kujahitkan ini sangat berbeda dengan milik ibuku. Jauh berbeda. Bulu-bulu yang kujahitkan tidak berwarna putih, warnanya merah, semerah darah. Sungguh wajar, karena, tidak seperti Ibu, bulu-bulu halus ini tidak berasal dari cinta. Entah dari apa aku juga kurang begitu mengerti. Yang jelas, aku hanya mengambil bulu-bulu halus merah yang tersisa dari keranjang kayu itu.
Dan aku tidak akan berhenti sampai pekerjaanku selesai. Bulu-bulu halus merah ini juga tidak ada habisnya, temanku. Setiap kali aku bercerita dan terpaksa mengingat kembali, tentang sayap itu, terjangan kaki ayah, dan darah yang keluar dari mulut Ibuku, mendadak jutaan bulu-bulu halus merah akan menyeruak dari kepalaku. Dan aku harus segera menjahitnya, sampai selesai. Agar rangka sayap ini tidak lagi menjadi rangka, tapi sebuah sayap besar berwarna merah darah yang siap menerbangkan aku ke tempat orang itu, orang yang telah membunuh Ibuku.


Depok, 1 Februari 2005

No comments: