Terlalu banyak Pippi Langstrump mengalir dalam darah kita, lalu panjat pohonnya dan terdamparlah kita di Negeri Tuka-Tuka, melihat bintang timur lalu menghisap Cerutu Sang Pharaoh. Kunang-kunang, Enid! Kunang-kunang! Bintang jatuhkah atau kembang api? Kita terlalu mudah terdistraksi oleh benda-benda yang mengeluarkan cahaya. Kita menerawang diatas atap rumah, aku berbisik, bahkan nama belakangnya pun seperti magnet yang membuat radarku berpijar. Kamu lalu tidak mau kalah, "nama belakang ia, yang tertangkap lampu mercusuarku," katamu, "selalu digambarkan dengan cahaya yang turun dari langit". Semiotika, aku tahu. Tapi somehow betul juga itu. Seperti anak kecil, menyusun nama belakang, tapi kita memang berusia tujuh tahun, berlari-lari di padang rumput, meniup gelembung sabun dan mengejar kupu-kupu. Kamu menemukan pohon oak besar yang ingin kaupanjat, aku menengadah, 'is it actually safe?'. 'It is', you said. Then I climbed up the tree, lalu melihat gumpalan-gumpalan awan yang menggelembung di langit biru. 'Yang itu berbentuk roket yang hendak diterbangkan ke bulan!' katamu, 'it really looks more like one quasiphallical object', i said. Lalu kamu memandangku dengan heran. Aku tidak peduli, aku sedang menggambar dengan crayon, kamu mengamati, lalu kita terheran-heran menikmati semesta.
To be continued...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment