Sunday, February 20, 2005

congratulation! you are now oficially retarded

Konon, katanya, dunia sastra di Indonesia, atau katakanlah setidaknya di kota-kota besar, sedang berpesta pora menyambut gegap gempitanya gairah membaca dan membuat cerita yang kini semakin memuncak saja.

Konon, katanya, inilah zamannya dimana semua orang mulai kembali suka membaca, bahwa membaca buku akhirnya menjadi tren, dan semua orang, terutama generasi muda, berlomba-lomba menghabiskan lembar demi lembar rupiah untuk membeli buku, atau kalau pun belum punya uang pada saat itu, bisa bersesak memenuhi toko buku-toko buku lokal setempat lalu bersegera ke depan rak-rak yang memuat novel-novel untuk kemudian melahap buku sambil berdiri.

Mari angkat gelas dan ikut bersuka? Nanti dulu. Menurut gw, yang terjadi bukannya kebangkitan kembali gairah dan budaya membaca di kalangan masyarakat, tapi pembodohan generasi besar-besaran.

-sigh-

Minggu pagi ini gw beli Koran Tempo, artikel utamanya diberi judul ‘Sastra Jerawat’ membahas tentang chicklit, teenlit, atau apapun namanya, yang sedang happening (meminjam istilah Mtv) di kota-kota besar di Indonesia.

Katanya, novel-novel remaja lokal bertajuk chicklit atau teenlit yang diterbitkan itu, dengan bermacam-macam judul dan pengarang baru, terjual sampai puluhan ribu kopi, dan mengalami cetak ulang sampai berkali-kali hanya dalam tahun pertama penerbitannya. Sebuah prestasi yang luar biasa apalagi kalau kita mulai membandingkan dengan novel-novel sastra karangan sastrawan kenamaan. Mengutip pendapat Arswendo Atmowiloto, buku-buku karangan para sastrawan besar saja, semisal Putu Wijaya atau Rendra, atau Chairil Anwar, perlu waktu setidaknya lima tahun untuk cetakan kedua, dengan tiras hanya sepertiganya. Untuk mencapai prestasi novel-novel teenlit itu yang terjual sampai puluhan ribu kopi dan dicetak berkali-kali, seorang sastrawan yang punya nama perlu waktu 90 tahun untuk bisa menyamainya.

Luar biasa. Novel-novel teenlit itu begitu digemari. Para ABG (mengambil istilah sinetron-sinetron di Indonesia) berbondong-bondong menyerbu toko buku-toko buku lokal terdekat, membeli novel teenlit keluaran terbaru, pulang kerumah, selesai membacanya dalam hitungan hari, menyebar luaskan betapa luar biasa bagusnya cerita dalam novel itu pada teman-temannya yang kemudian berbondong-bondong ikut membeli, lalu kemudian kembali ke toko buku untuk membeli novel teenlit terbaru lainnya.

Apa yang membuat novel-novel chicklit dan teenlit ini begitu populer, begitu digemari dan bahkan dikatakan menjadi pembangkit kembali minat baca di Indonesia? Jawabannya, sayangnya membuat gw tertawa terbahak-bahak sambil mengerutkan kening seperti yang terjadi ketika gw mendengar jawaban-jawaban yang diberikan para kontestan Miss. Indonesia di RCTI kemarin malam. Sungguh bodoh.
Pertama, katanya novel-novel teenlit dan chicklit itu menjadi sangat digemari karena novel-novel itu bercerita mengenai kehidupan yang sangat dekat dengan kehidupan remaja, kalau tidak bisa dibilang jelas-jelas sama. Tema-tema yang diangkat adalah tema-tema yang sangat dekat dengan kehidupan remaja, sebagai tentunya pangsa pasar utama buku-buku berjenis ini, yaitu cinta dan... dan apalagi ya... umm... tidak ada. Hanya cinta. Cinta yang pelik, cinta yang melatarbelakangi bermacam-macam konflik, seperti merebutkan si idola juara basket di sekolah, atau diperebutkan dua (atau lebih) cowok gaul tajir oke banget gitu lohhh (mengutip salah satu line di teenlit tersebut). Cinta yang sungguh memusingkan, cinta yang membuat melayang, cinta, cinta dimana-mana, hanya cinta saja (mengutip salah satu judul buku teenlit tersebut, Nothing but Love). Hampir tidak ada tema-tema sosial yang diangkat oleh novel-novel laris mahapopuler tersebut. Masalah kemiskinan di sudut-sudut kota, misalnya, atau perdagangan anak yang masih merajalela, atau setidaknya tema-tema cukup klise seperti narkoba atau seks bebas lah, yang, paling tidak, meskipun klise, bisa menjadi sebuah studi sosial mengenai kecenderungan perilaku remaja di kota-kota besar. Tapi ya itu tadi, nggak ada sama sekali. Semuanya tentang cinta.

Alasan kedua yang melatarbelakangi kesuksesan novel-novel tersebut konon karena bahasa yang disajikan sungguh jujur dan apa adanya. Lagi-lagi begitu dekat dengan kehidupan remaja. Mereka bertutur serupa dengan remaja bertutur. Simak saja pendapat Dyan Nurandya alias Dichiel, 19 tahun, pengarang chicklit berjudul Dealova yang novelnya sudah terjual lebih dari 40 ribu eksemplar, mengantongi royalti 100 juta plus 20 juta dari rumah produksi yang ingin mengangkat novelnya ke layar lebar; “Aku nggak pikir bahasa. Tata bahasaku kacau, nilai bahasaku aja jeblok. Toh bahasa yang tidak dibuat-buat dan tampil apa adanya justru jadi khas teenlit yang laris manis.” Luar biasa.

Alasan ketiga rupanya lebih lucu lagi. Konon, chicklit dan teenlit lokal itu laris manis karena kemasannya (baca: cover) yang cantik dan berwarna-warni menarik hati. Cover ini, rupanya lebih penting dari isi cerita dalam mendeterminasi penjualan buku tersebut. Setidaknya inilah yang diakui para remaja-remaja pembeli chicklit dan teenlit tersebut. Hmm, mungkin mereka menganut pepatah lama... don’t judge a book, buy its cover!

Menurut gw, disitulah letak pembodohan besar-besarannya. Bagaimana bisa sebuah buku begitu laris, dibaca dan digemari begitu banyak remaja sampai-sampai berulangkali dicetak ulang dan difilmkan atau disinetronkan, karena alasan sesimpel ‘mengangkat tema yang sangat dekat dengan kehidupan pembacanya’. Kalau cerita-cerita yang diangkat itu begitu serupa dan dekat dengan kehidupan remaja tersebut, apa yang bisa diperoleh dari membaca buku itu? Tidak lebih dari sekedar pembodohan terorganisir yang menciptakan sebuah generasi simplistik yang menyukai hal-hal superfisial, dangkal dan tidak perduli pada sekeliling.
Katakanlah begini. Seorang anak SMA dengan kehidupan SMA nya. Dia pergi kesekolah, bertemu dengan teman-temannya, duduk di dalam kelas menyerap pelajaran-pelajaran bersifat teoritis yang kemungkinan besar tidak akan berguna banyak bagi kehidupannya di masa depan. Lalu dia pulang, dan membaca buku. Tebak apa yang dia baca? Sebuah buku yang menceritakan tentang dirinya, teman-temannya, kehidupan sekolah yang sama persis, dengan bumbu-bumbu cinta romantis yang alangkah menyenangkannya apabila bisa terjadi di kehidupan nyata. Yang terjadi adalah, dia terperangkap dalam kehidupan simplistik yang superfisial itu, tidak ada jalan keluar, karena toh dia terkungkung dalam sudut pandang yang itu-itu saja. Tidak ada petualangan baru yang bisa dia selami, sudut pandang berbeda yang membuat dia terbelalak dan berpikir, atau karakter menarik yang bisa ia amati pola pikirnya. Tidak ada. Semuanya mati. Semuanya tenggelam dalam pembodohan generasi yang disambut dengan suka cita oleh kaum kapitalis yang kemudian menunggangi pembodohan itu, mencetak lebih banyak lagi kebodohan dan bersenang-senang diatas uangnya.
Sebaliknya, bayangkan pikiran apa yang mungkin menari-nari di kepala si anak SMA itu kalau dia membaca bagaimana seorang anak kulit hitam yang seumur hidupnya dianggap dan menganggap dirinya buruk rupa, diperkosa oleh ayahnya, lalu mendadak menginginkan sepasang mata biru cerah untuk mengganti mata hitamnya yang selalu melihat kekelaman (The Bluest Eyes, Toni Morrison)? Atau sensasi apakah yang mungkin ia rasakan ketika seluruh indranya seakan diajak menikmati pegunungan Pyrenes di Navarra oleh Hemingway? Atau mungkin apa reaksinya ketika sang psikopat mati-matian membela diri dengan alasan yang tidak masuk akal di cerpen Poe? Atau Shakuntala yang menari telanjang untuk melepaskan sosok-sosok dengan berbagai macam jenis kelamin di Larung, Ayu Utami? Bayangkan pengalaman yang ia peroleh, sudur pandang yang bisa ia selami, petualangan yang bisa ia temui, lewat membaca? Tapi tentunya semua itu mati, terututup seperti gerbang yang digembok rapat, karena pembodohan yang memakai bendera teenlit atau chicklit itu. Para remaja itu berpesta, atas sesuatu yang kosong saja.

Lalu mengenai bahasa, tentu tidak salah kalau bahasa slank, atau katakanlah bahasa pergaulan digunakan dalam sebuah karya sastra, sepanjang berada dalam konteks dan proporsi yang sesuai. Tapi membuat propaganda bahwa bahasa teenlit dan chicklit adalah bahasa yang jujur dan apa adanya, oleh karena itu layaklah untuk digemari, secara tidak langsung menciptakan sebuah notion bahwa novel-novel sastra lainnya, tidak mengusung bahasa yang jujur dan apa adanya, berbelit-belit mendeskripsikan sesuatu yang kemudian pada akhirnya menciptakan kerumitan semata serta tidak layak untuk digemari. Dan menurut gw, notion yang timbul dari propaganda ini sangatlah tidak bijaksana dan lagi-lagi merupakan bentuk pembodohan bagi para remaja-remaja itu. Sebab, tentu saja pengalaman membaca dan mencerna sebuah karya sastra, menguak simbol yang tersirat secara implisit di dalam sebuah cerita merupakan juga sebuah perjalanan yang layak dilewati, dan sungguh tidak bijak menganggapnya tidak jujur dan tidak apa adanya, siapa pula mereka yang bisa memberikan definisi jujur dan apa adanya itu?? Kalau propaganda ini diteruskan, maka anak-anak remaja itu akan menganggap bahwa bahasa yang layak dan pantas adalah bahasa yang dikatakan ‘jujur dan apa adanya’ seperti yang terdapat pada novel-novel teenlit dan chicklit itu, sehingga otak mereka akan larut dalam simplisistisme bahasa tersebut dan urung berusaha untuk mengkaji kedalaman sebuah cerita yang tidak bertutur dengan eksplisit. Otak mereka akan beku, dan sungguh sangat mungkin mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang cenderung menggampangkan dan superfisial karena mereka hanya menyukai sesuatu yang bersifat dangkal dan permukaan saja.
Sedangkan mengenai masalah cover dan kalimat dont judge a book, buy its cover itu, rasanya nggak perlu gw komentari lagi. Selamat buat para kapitalis yang begitu cermat memanfaatkan situasi dan menyebarluaskan jaring kebodohan di Indonesia.

Jadi menurut gw, yang ada sekarang sama sekali bukan wujud meningkatnya gairah membaca dan menulis karya sastra di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Tapi memuncaknya pembodohan dan semua orang, herannya, mengangkat gelas dan bersulang diatasnya. Selamat untuk semua, mari Ibu-Ibu, Bapak-Bapak, atau siapa saja, berikan anak, adik atau tetangga kalian uang saku, dan biarkan mereka membuat otak mereka sendiri menjadi bebal dan dangkal, sambil memberi makan para kapitalis kemaruk.


---sisie---
Sun, Feb 20 05

3 comments:

Ferdi Z said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Ferdi Z said...

don't judge a book, buy its coverBy far my favorite line :))

Tulisannya keren, Bu:)

Tapi ada sesuatu agak mengganjal... beberapa hari lalu gue kebetulan ngobrol sama seorang teman lama (di Takor tentunya) tentang 'arogansi' beberapa anggota kalangan 'sastra tinggi;' mungkin ada baiknya juga menghindari kepicikan-kepicikan seperti itu...

Ya maksud gue, gue sepakat cukup banyak memang contoh chicklit lokal yang memang kurang baik untuk kesehatan jiwa, namun ya kalo gue pikir ada baiknya jangan menggeneralisir...

Salah satu kesimpulan diskusi gue dengan teman lama yang tadi gue sebut adalah bahwa mempopulerkan sastra menggunakan chicklit itu mirip sama memulai pacaran dengan seks; its a great way to jumpstart a relationship but to last its gotta develop into something more.

My 2¢ ;)

Sekali lagi, Great Writing, Ma'am! :)

sisie said...

thx ferdi :)
analogi lo tentang chicklit vs. sex and relationship itu pas banget,
gw bukannya menggeneralisasi.. kenyataannya sebagian besar chicklit dan teenlit itu (apalagi yang lokal dan juga ditulis oleh ABG..) nggak menawarkan sesuatu lebih yang bisa memperkaya pembacanya..
dan menurut gw, itu terjadi karena para penulisnya sendiri berasal dari circle yang sama dengan pembacanya sendiri. mereka membaca buku2 yang sama, mereka bicara dengan bahasa yang sama, dan mereka bergaul dan hang out di tempat yang itu-itu juga. pada akhirnya bacaan yang mereka tulis tidak lebih dari hal yang berada di lingkungan yang itu2 aja. akhirnya ya kaya lingkaran... nggak keluar... cuma muter disitu2 aja.
fenomena ini menyedihkan menurut gw soalnya, buku yang harusnya bisa memperkaya pembacanya - dalam hal ini bisa jadi bahkan lebih berguna lagi, karena pembacanya notabene adalah para remaja itu yang sedang mulai membentuk diri mereka sendiri - menjadi sesuatu yang hanya digemari karena tren dan tidak menawarkan apapun selain sesuatu yang superfisial dan dangkal.

menurut gw sungguh amat sangat bagus super duper keren sekali mengetahui fakta bahwa sekarang kita dipenuhi oleh penulis-penulis ABG berbakat yang bergairah sekali menulis dan menuangkan isi pikiran mereka, dan sama sekali nggak ada yang salah dengan itu tentunya, kecuali kenyataan bahwa tentu saja buku yang mereka produksi harusnya bisa memperkaya pikiran orang yang membacanya, bukan cuma sekedar ikut2an ngetop dengan buku yang nggak ada isinya dan hanya menyeret2 ABG lainnya untuk turut tenggelam dalam euforia yang membuat mereka semakin retarded...

-aduh apa sih kok tone tulisan gw jadi kejam begini... gara2 si ibu di rektorat tadi nih.. ihiks..

anyway ferdi, yang masalah sastra2 an itu menarik juga. seteru tentang arogansi kaum yang menganggap diri mereka lebih beradab dari sastra2 populer memang udah terjadi sejak lama. mungkin nanti gw akan nulis tentang itu.

big thanx, ferdi :)