Ketika Seratustujuhpuluh Kelinci Berlompatan dari Kepalamu Hari ini
Risyiana Muthia
Seratustujuhpuluh kelinci berlompatan dari kepalamu hari ini. Ada yang berwarna putih, hijau, coklat, ungu, abu-abu, transparan... wah banyak sekali. Aku tidak sempat mengamati satu-persatu karena mereka berlompatan dengan sangat cepat dan segera menghilang begitu menyentuh lantai kayu di auditorium gedung B yang dinginnya menusuk tulang.
Tapi meskipun kejadian berlompatannya kelinci-kelinci beraneka warna itu berlangsung hanya sekejap, dari sini jelas sekali terlihatnya. Aku bahkan bisa melihat kelinci terakhir, kelinci keseratustujuhpuluh – aku tahu mereka berjumlah segitu karena kelinci-kelinci itu memakai nomor punggung seperti pelari-pelari olimpiade – menggoyangkan buntutnya sebelum terjun deras ke lantai.
Dan kamu, oh kamu, seperti biasa tidak pernah tahu apa-apa. Kamu tidak pernah tahu. Dulu sekali, waktu ada burung dodo berlarian mengitari kakimu, kamu hanya diam, tanpa ekspresi. Sedangkan aku, nyaris beku karena kaget. Lalu dua hari lalu, waktu tigapuluhlima beruang madu berukuran mini menarik-narik bagian belakang kaos Mook kesayanganmu, kamu tak bergeming. Lalu hari ini, ketika seratustujuhpuluh kelinci warna-warni berlompatan dan terjun bebas dari kepalamu, kamu tidak bergerak sedikitpun! Sungguh mengherankan. Matamu terus saja menatap nanar kedepan, tak jelas menatap atau memikirkan apa. Aku tahu pikiranmu sedang tidak berada disini, entah jauh dimana, pikiran siapapun tidak akan berada disini pada saat ini, di dalam ruangan yang dingin ini dengan dosen serta pelajaran yang begitu membosankan dan membuat siapa saja menjadi gila. Semua orang diruangan ini pasti sedang memasang sayap pada gumpalan pikiran mereka, atau mengecek mesin, mengisi bahan bakar, dan membiarkan gumpalan pikiran itu lepas landas terbang dan melayang-layang hingga akhirnya meletup dan menaburkan serbuknya pada satu titik tema dalam kehidupan.
Untukku, satu titik tema kehidupan itu adalah kamu. Gumpalan pikiran milikku selalu meletup dan menaburkan serbuknya tepat diatas kepalamu. Semakin kupikirkan rasanya semakin kutemukan korelasi antara binatang-binatang aneh yang sering terlihat mengitarimu itu dengan serbuk yang berjatuhan dari letupan pikiranku. Setiap kali gumpalan pikiran itu meletup, binatang-binatang itu selalu muncul, mengagetkanku, tapi tidak dirimu. Sampai sekarang, belum pernah rasanya ada binatang yang begitu anehnya sampai mengagetkanmu dan membuatmu menoleh, atau setidaknya berhenti sejenak dari usahamu untuk menerbangkan gumpalan pikiranmu sendiri.
Aku tidak pernah tahu kemana kamu menerbangkan gumpalan pikiranmu. Atau mungkin aku tidak mau tahu. Yang jelas, belum pernah ada kelinci yang tiba-tiba melompat dari balik rokku, atau berang-berang yang menarik-narik kaus kakiku. Jadi yah, begitulah.
Ah, coba lihat. Ada yang menyembul dari belakang kursi tempat kamu duduk. Ya ampun, itu kan kecoa Madagaskar, besar sekali! Sayapnya bergerak-gerak dan bergesek menimbulkan bunyi desis yang mengerikan dan membuat bulu kuduk berdiri. Ah bukan cuma satu, ada dua, tiga, empat, ada lima kecoa Madagaskar yang sedang merayap dibelakang kursi tempat kamu duduk! Ini menggila, aku merinding sekali. Mereka sedang merayap kearah bahumu. Tidakkah kamu takut? Ayo cepat menoleh, masa tidak sadar juga? Kamu harus sadar sekarang atau kecoa-kecoa itu akan segera merayapi lenganmu!
Kamu menoleh sedikit, akhirnya, dan kecoa-kecoa itu meletup dengan bunyi ‘pop!’ pelan meninggalkan asap berwarna putih dibekas tempat mereka meletup. Dan kamu, seperti tidak sadar akan apa yang sedang terjadi, kamu berpaling lagi, mungkin kembali sibuk menerbangkan gumpalan pikiranmu.
Bel yang menjerit segera membuat gumpalan pikiran yang sedang meletup-letup diatas kepalamu terhisap dengan cepat kembali kedalam kepalaku. Lalu aku menemukan diriku berada disini, diruangan yang dingin ini, berisi enampuluhdelapan mahasiswa yang sedang berusaha menangkap kembali gumpalan pikiran mereka masing-masing yang berterbangan dimana-mana. Beberapa begitu susah ditangkap sehingga harus dikejar-kejar. Gumpalan pikiranku sendiri cepat sekali kembali, memaksaku membereskan buku-buku dan file yang sejak tadi tertumpuk tanpa guna diatas meja.
Seperti tidak pernah sadar akan apapun, tiba-tiba kamu melintas disamping kursi tempat aku duduk. Tanpa menoleh, tanpa bertanya apapun tentang binatang-binatang yang sedari tadi berkeliaran didekatmu. Tidakkah kamu tahu bahwa aku satu-satunya orang yang tahu dan mengerti apa yang terjadi pada dirimu? Tidakkah kamu ingin tahu, mengapa binatang-binatang itu selalu ada?
Aku berjalan, pelan dibelakangmu, dipisahkan oleh tigabelas mahasiswa yang berbaris ribut didepanku mengantre untuk keluar lewat pintu yang hanya satu untuk ruangan sebesar ini. Dan kamu, didepan sana, sudah hampir mencapai pintu. Kamu begitu tenang, begitu sunyi, seperti mengambang. Padahal aku tahu, dalam hitungan detik saja sebentar lagi binatang-binatang itu akan bermunculan lagi.
Dan benar saja, tepat ketika aku mencapai pintu, aku melihatmu bersandar dipojokan koridor, mengambil sesuatu didalam tasmu. Kamu mengambil sebotol air mineral, begitu segar, begitu jernih. Kamu hendak meminumnya. Oh tidak, tidakkah kamu lihat apa yang ada di dasar botol itu? Cacing, cacing, begitu banyak cacing, begitu tipis, hitam dan berlendir, lengket, lembek. Beberapa mulai mengambang kepermukaan. Jangan masukkan cacing itu kedalam tenggorokanmu! Jangan! Jangan! Tidakkah kamu melihatnya?
Botol minum itu terhempas, airnya bercipratan kemana-mana dan menggenangi lantai. Cacing-cacing itu beringsut keluar dari bibir botol, begitu pelan, begitu liat, begitu menjijikkan. Slow motion. Lalu air mulai mengalir pelan terbawa oleh miringnya lantai, ke kiri, ke kanan, kemana-mana. Cacing-cacing juga mengalir. Kekiri, kekanan, kemana-mana, lalu mencair bersama air.
“Apa-apaan sih? Kamu ngapain?”
“Air itu... dan cacing...”
“Cacing? Cacing apaan? Have you lost your mind?”
Tidak. Tentu tidak. Aku menyelamatkanmu dari cacing-cacing itu, dari cacing-cacing yang hendak mengalir ke tenggorokanmu. Aku menyelamatkanmu. Tidakkah kamu sadar?
Lalu mata itu. Matamu. Menatapku. Tajam, begitu tajam, namun penuh tanda tanya. Kamu bingung? Kamu pasti bingung. Kamu pasti tidak melihat cacing-cacing itu. Seandainya kamu tahu, kamu pasti berterima kasih padaku, lalu aku bisa dengan leluasa bercerita padamu tentang binatang-binatang yang selalu mengelilingimu, sekaligus memperingatkanmu akan binatang-binatang mengerikan yang sesekali muncul.
Lalu mata itu. Mata. Bukan hanya sepasang. Tapi berpasang-pasang. Berpasang-pasang mata menatapku saat ini. Begitu banyak. Begitu ramai. Ada yang menatapku dengan heran, dengan geli, dengan kasihan, dengan mencemooh. Begitu banyak. Begitu banyak mata. Menatapku. Menelanjangiku.
Ah mereka tidak mengerti. Mereka semua tidak mengerti. Beberapa mulai berbisik-bisik, menunjuk-nunjuk kearahku dan genangan air itu. Tidak sopan! Hentikan! Kalian semua cuma tidak mengerti!
Aku tidak suka ditelanjangi. Maka itu aku berlari. Aku berlari seperti lalat yang melintasi taman, seperti belalang yang melompati padang, seperti... lari. Aku berlari terus melewati berpasang-pasang mata yang terus berusaha menelanjangiku. Mereka melucuti pakaianku, mereka merampasnya. Aku lari. Aku harus terus berlari.
Aku tidak suka telanjang. Aku tidak suka berpasang-pasang mata mengamati bagian-bagian tubuhku. Mengukur dan membandingkan ukuran payudaraku, menghitung setiap gumpal selulit, menatap tajam pada setiap bekas luka gigitan nyamuk, mengamati kemaluanku. Aku tidak suka telanjang. Maka satu-satunya tempat yang aman untuk ketelanjanganku adalah disini. Di tempat ini.
Di tempat ini semua orang berhak telanjang, tanpa malu, tanpa rasa takut. Maka aku berdiam disini, di bilik toilet paling ujung di dalam toilet perempuan di gedung H, gedung paling ujung di kampus ini. Aku meringkuk diatas kloset yang tertutup, menatap setiap inci ketelanjanganku tanpa rasa malu. Aku akan terus disini, menunggu pakaianku terbang kedalam toilet ini, sehingga aku bisa keluar tanpa telanjang, tanpa rasa takut itu.
Aku menunggu, dan terus menunggu. Gumpalan pikiranku mulai merayap pelan keluar dari kepalaku. Dia hendak terbang. Aku ingin mencegahnya, karena aku tahu kemana dia hendak terbang, meletup dan menjatuhkan serbuk. Aku juga tahu bahwa binatang-binatang itu akan segera muncul lagi disekitarmu. Aku tidak ingin itu terjadi karena aku sedang tidak bisa menjagamu sekarang.
“Nggak bisa dipercaya. Gue nggak percaya ada aja yang begitu.”
“Maksud lo?”
“Ya begitulah. Nggak tau dimana urat malunya. Emang sih dari kemarin-kemarin dia udah sering begitu. Maksud gue, sengaja mondar-mandir didepan Dimas, ya masih bisa lah diterima. Tapi, kalo mondar-mandirnya bener-bener mondar-mandir... maksud gue bolak-balik tanpa jelas tujuannya, itu kan aneh. Gila malah menurut gue. Anak itu bolak-balik tiap setengah menit, di depan Dimas! Padahal nggak ada apa-apaan. Dan tiap dia bolak-balik tu matanya bener-bener menatap Dimas! Gila!”
“Yah, namanya juga cari perhatian. Tapi kayaknya anak itu emang beneran aneh. Gue kan selalu sekelas sama dia di kelas Komposisi Bahasa, barengan Dimas juga. Anak itu, selalu duduk dua bangku di belakang Dimas, dan yang lebih aneh lagi, selama hampir dua jam di dalam kelas, matanya nggak pernah lepas dari Dimas. Gue tau soalnya gue sering curi-curi pandang ke arah dia. Belum pernah sekalipun gue mergokin dia nggak sedang menatap Dimas, matanya pasti selalu ke Dimas.”
“Lebih nyeremin lagi karena anak itu emang beneran misterius ya? Maksud gue, kita nggak pernah bener-bener tau dia karena dia emang jarang banget ngomong sama kita-kita. Dia kan selalu sendirian gitu ya? Dulu sebelum sering sekelas sama Dimas, gue aja nggak nyadar kalo anak itu ada!”
“Tapi sekarang kita semua nyadar... hahaha...”
“Yah... begitulah... lucunya lagi Dimas sendiri nggak pernah bener-bener nanggepin segala kelakuan anak itu. Ya kan?”
“Hahahaha... iya! Dan tadi tu emang bener-bener heboh! Saking frustasinya dia nyoba narik perhatian Dimas, bisa-bisanya dia sampai ngebanting botol minumnya Dimas! Gila! Hahahaha... nggak ada cara lain ya buat narik perhatian? Dandan kek, gimana bisa diperhatiin kalo tampang aja kayak orang sakit begitu. Hahahahaha...”
“Bloon... hahahahahaha...”
Salah. Semua salah. Mereka semua cuma tidak mengerti. Aku hanya mencoba menyelamatkan dia dari cacing-cacing itu. Aku hanya memperhatikannya karena binatang-binatang aneh selalu mengelilingi dirinya. Aku hanya ingin memberitahu dia, memperingatkan dia, bicara padanya...
-Depok, 23 Juni 2004-
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment