I was reading
something
it’s his eyes
today
that I read
don’t put genre
cause no genre ever
would fit
all the feeling
you feel
when you read
his eyes
you can call it
a journey full of crazy adventures
with pirates and monsters
and hydras and dragons
and behemoths and ogres
one absurd knight
carrying a big heavy cavalry sword
with a curved blade
and a single cutting edge
save the tortured fairies
beat the beasts
and that evil Crown behind the dreary fortress
don’t give him any mercy
but then the next page you turned into
you would want to call it
a contemplation of all
your deepest philosophical thoughts
your thoughts about life
about the existence
about the humankind
about the truth
about the false
all piling up
questions
leaving you
searching
yet don’t expect
that it’s the end
of your reading
care to turn into the next page
and you might want to cling it
to the category
of a simple romantic love story
where you can see
all the lovers’ glee
holding hand
real tight
feeling no need to even say anything at all
but yet they smile to each other
contently
no no no
you’re not finished yet
it’s not the end
of your reading
there are still lots of things left
leaving you feeling mystified
bewildered, exhilarated,
thrilled
addicted
and today
I just realized
that no matter how hard I tried
to finish my reading
before the time brought me
to the end of the day
I always failed
and how I couldn’t wait until tomorrow
to continue reading.
Wed, 270405
1040 PM
--sisie--
Wednesday, April 27, 2005
Simple Joy of Life?
I’m happy. This is even more than simple joy of life.
I’m happy… no matter how people say how insignificant it is.
To me it IS significant. And I’m hopping… hop… hop…
:)
This is the short story; it was on Koran Tempo, Sunday April 24th 2005. And I’m so blissful. One in the paper was the edited one (the edited one is better, really… thanx to the editor), this one is unedited. Hope you might enjoy the short story, as for myself, I like this one better than the previous one (the Ketika Seratustujuhpuluh Kelinci Berlompatan dari Kepalamu Hari Ini) because when I was making this one, it’s so intricate, it’s like making a puzzle game. Enjoy, hope you could solve the puzzle.
Thank you so much mum and dad for always supporting me
and for the fat pig, who loves cats better than he loves humanity (and yes I’m beginning to be able to see it from his point of view), I love you so much, if it wasn’t because the discussion I had with you, all the rather harsh critics, all the saying of ‘cerpen lo tu hampir sama jeleknya sama cerpen2 sastra Indonesia yang lain, yang sok bermain simbol padahal sebenernya ga ada isinya…’ or ‘lo bermain analogi tu cuma di permukaan aja, you should be more focus on the plot, not just on the details’, I would not be able to make this. I love you so much, really really.
>HUG<
Ibuku Menjahit Sayap
-Risyiana Muthia-
Kalau ada yang bertanya, apa yang terlintas dibenakku ketika mendengar kata ‘Ibu’, kata yang pertama kali muncul adalah... sayap. Lalu yang kedua adalah... mati.
Kalau kemudian mereka lanjut bertanya mengapa sayap dan mengapa mati, maka aku akan meminta mereka untuk duduk manis di sampingku. Karena jawaban dari pertanyaan itu adalah awal dari sebuah cerita yang panjang sekali. Maka aku akan mulai memperingatkan mereka tentang panjangnya cerita ini, lalu kalau mereka bersikeras, aku akan menyarankan mereka untuk mengambil secangkir kopi pahit, atau teh hangat, atau biskuit-biskuit kecil, atau apapun yang bisa membuat mereka nyaman sambil mendengarkan ceritaku.
Sedang aku? ya sudahlah tidak usah kuatir tentang aku. Tentu saja aku akan tetap berada disini, dan dengan senang hati akan kuceritakan semuanya kepada mereka. Tidak usah kuatir, aku tidak merasa terganggu sama sekali. Aku sudah terbiasa bercerita tentang apa saja tanpa harus berhenti sejenak dari pekerjaan maha penting yang sedang kulakukan ini. Maka tentu saja akan kuminta mereka untuk duduk diam sajalah mendengarkanku bercerita kalau memang ingin tahu. Hanya saja, mohon dimaafkan kalau aku tidak bisa selalu menatap lekat-lekat mata lawan bicaraku ketika bercerita. Maklum, pekerjaan maha penting ini harus segera selesai.
Rupanya kamu ingin mendengar ceritaku, ya? Baiklah. Biarkan aku memulai. Sudah siap dengan teh hangatmu? Bagus. Sekali lagi aku mohon maaf kalau aku tidak menghentikan sejenak pekerjaanku untuk bercerita kepadamu. Sama sekali bukan karena tidak hormat, jadi yah... maklum sajalah.
Ibuku. Ibuku adalah sayap. Ibuku adalah sayap yang cantik. Lebih tepatnya lagi, ibuku adalah pembuat sayap yang cantik. Hampir sepanjang kemampuanku merekam keberadaannya dalam ingatanku, tidak pernah sekalipun terbayang dirinya tanpa sepasang rangka sayap raksasa yang selalu ada di pangkuannya setiap malam, setiap hari dalam hidupnya. Rangka sayap itu begitu besar dan kokoh, dan diatasnya, tersulam dengan rapi ratusan bahkan ribuan helai-helai bulu halus putih yang dijahitkan oleh ibu satu demi satu pada malam demi malam.
Aku ingat, ketika usiaku belum genap delapan tahun, pernah aku bertanya pada ibu untuk apa ibu menjahitkan ratusan bahkan ribuan helai-helai bulu halus putih itu setiap malam pada sepasang rangka sayap raksasa itu. Untuk membuat sayap, begitu katanya, sayap yang bisa membawa terbang, lanjutnya lagi sambil menyunggingkan senyum cantik, senyum paling cantik yang pernah kulihat. Lalu ibu akan memintaku mengambilkan sebuah keranjang kayu yang teronggok di sudut ruangan untuk diletakkan di dekat kakinya yang terus saja menjahit helai-helai bulu halus putih pada rangka sayap itu. Kulongok isi keranjang, isinya helai-helai bulu halus putih lagi, saling bertumpukan seperti kapas yang baru dipetik dari pohonnya.
Lalu aku ingat, ketika itu aku juga sempat bertanya, dari mana Ibu mendapatkan helai-helai bulu itu. Begitu halus, lebih halus dari helai bulu apapun yang pernah kusentuh. Juga, begitu putih dan murni, tidak ada setitikpun noda ataupun bercak diatas halusnya. Dan entah bagaimana caranya dan darimana mendapatkannya, setiap malam, keranjang kayu itu selalu saja dipenuhi helai-helai bulu halus putih yang baru, meskipun pada malam sebelumnya, kesemuanya telah ia jahitkan pada sepasang rangka sayap raksasa itu.
Helai-helai bulu halus ini, datang dari cinta, anakku. Kata ibu ketika itu.
Aku hanya diam dan mengiyakan. Tidak paham benar apa maksud Ibu. Tapi tahun demi tahun berikutnya, ketika aku mulai beranjak besar dan bulan demi bulan sudah kulalui merintih sakit khas perempuan, aku mulai memikirkan kembali jawaban Ibu atas pertanyaanku ketika itu. Cinta? Cinta apakah? Cintakah yang memproduksi helai-helai bulu halus putih itu sehingga setiap malam selalu ada di dalam keranjang kayu milik Ibu? Cintakah yang membuat ibu begitu tekun dan tanpa henti menjahitkan helai-helai bulu halus putih itu pada sepasang rangka sayap raksasa setiap malam? Cintakah? Cinta pada siapakah?
Waktu itu aku hendak menanyakannya lagi pada Ibu, tapi urung karena malam itu Ibu terlihat begitu lelah, meski ia terus menjahitkan helai-helai bulu halus putih itu pada sepasang rangka sayap yang kini sudah nyaris seluruhnya berwarna putih tertutup bulu. Tinggal beberapa bagian saja yang masih berupa rangka, rupanya pekerjaan Ibu sudah hampir selesai.
Sementara itu, entah bagaimana dan tidak kumengerti kenapa, tubuhnya terlihat semakin lemah. Ia memang tetap cantik, dibalik cekungnya mata dan tirusnya pipi. Juga tubuh yang ringkih bagai tulang dibalut kulit, kulit yang kering dan berkeriput. Namun betapapun ringkihnya ia, betapapun gemetar tangannya ketika merajutkan helai bulu itu, ia tetap menjahitkannya pada rangka sayap raksasa itu. Dengan perlahan, dengan lembut, dengan pasti.
Ibu, berhenti dulu lah. Kataku.
Tidak bisa, anakku. Tidak bisa berhenti. Ini harus segera selesai. Katanya.
Tapi untuk apa, Ibu? Sudah bertahun-tahun Ibu mengerjakan pekerjaan ini. Berhentilah barang sejenak. Tidak bisakah semalam saja Ibu langsung terlelap tanpa menjahit? Semakin kurus saja tubuh Ibu. Ibu perlu istirahat.
Tidak bisa, anakku. Setiap helai bulu, yang ada pada hari ini, harus segera terpasang pada tempatnya. Tidak bisa dibiarkan teronggok pada keranjang begitu saja. Harus segera terpasang, harus segera terjahit. Maka dari itu Ibu tidak bisa begitu saja tidur tanpa menjahit.
Kalau begitu jangan cari lagi bulu-bulu itu, Ibu! Suaraku menjadi meninggi.
Jangan lagi Ibu cari bulu-bulu itu, jadi keranjang itu tidak perlu terisi, dan Ibu bisa memejamkan mata tanpa harus menguras tenaga terlebih dahulu. Sudahlah, Ibu. Jangan cari lagi. Tidur saja lah.
Anakku. Kata Ibuku, matanya menatap lembut.
Tidak pernah sekalipun bulu-bulu halus putih ini ibu cari. Tidak pernah sekalipun. Setiap hari ia selalu muncul sendiri dan mengisi keranjang kayu. Apapun yang Ibu kerjakan pada siangnya, bagaimanapun Ibu berupaya menjalani hari dengan berbeda, bulu-bulu halus putih itu selalu muncul sendiri dan setiap helai bulu yang ada harus segera dijahit sampai tuntas. Tidak boleh ada yang tersisa. Maka dari itu Ibu terus menjahit, sayangku.
Aku menghela napas panjang. Lalu duduk di sudut kaki Ibu. Kuulurkan tanganku dan mulai memijat lembut mata kakinya. Kaki yang merenta.
Baiklah kalau memang demikian, Ibu. Tapi bahkan tidak bolehkah aku bertanya, mengapa helai-helai bulu putih dan halus itu harus segera dijahitkan? Untuk apa, Ibu?
Ibu terdiam. Lama sekali. Tidak sepatah kata. Meski jemarinya tidak henti menjahit bulu-bulu halus putih itu.
Lalu tiba-tiba ia menatapku, tajam.
Anakku. Sayap dibuat untuk terbang. Ibu harus menjahit setiap helai bulu yang ada agar pekerjaan ibu segera selesai. Jadi Ibu tidak perlu menjahit lagi dan Ibu bisa beristirahat. Lalu sayap ini, sayap raksasa ini, bisa menjalankan tugasnya yang utama, membuat terbang.
Aku terdiam, saat itu tidak begitu kumengerti maksud Ibu. Kupijat-pijat kakinya dan kubiarkan ia terus menjahit sampai habis bulu-bulu halus putih pada keranjang kayu itu. Tapi di dalam hatiku, aku bertekad untuk mencegah bulu-bulu halus putih itu datang mengisi keranjang kayu pada esok hari. Sehingga Ibuku bisa beristirahat tanpa harus menjahit, walaupun untuk semalam saja. Ia sudah terlalu lelah, sejenak istirahat akan sangat berarti untuknya.
Untuk itu, tentunya aku harus tahu dari mana bulu-bulu halus putih itu berasal.
Keesokan harinya, aku bertekad untuk tidak berangkat ke sekolah. Aku ingin mengikuti Ibu seharian, sehingga aku tahu dari mana bulu-bulu putih itu berasal. Ibu, tentunya jangan sampai tahu. Maka pagi itu, seusai sarapan, kucium tangannya dan berlagakku keluar dari pintu. Tapi tidak kuteruskan jalanku ke luar pagar, berbelokku dan bersembunyi.
Di pekarangan samping rumah, ada sebuah pohon beringin yang besar dan lebat sekali. Sulur-sulurnya berjuntaian sampai ke tanah. Aku memanjat pohon itu dan bersembunyi di sana. Dari atas bisa sangat leluasa melihat ke bawah, dan di bawah, di balik jendela, bisa kulihat dengan jelas Ibuku yang sedang mencuci piring bekas sarapan.
Tidak ada yang aneh, batinku. Sampai saat ini belum ada bulu-bulu yang tiba-tiba menyeruak dari balik punggung Ibu atau bertaburan dari langit secara mendadak. Lalu dimana? Tapi tunggu dulu, aku harus bersabar. Hari masih pagi.
Ibu mencuci piring. Setelah itu piring-piring yang sudah bersih dilap dan diletakkan pada rak piring. Kemudian Ibu merapikan meja makan dan mengganti air pada vas bunga. Semuanya biasa saja. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang janggal, aktivitas pagi hari yang sungguh biasa saja.
Tapi tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam kamar. Vas bunga yang ibu pegang terlepas dan jatuh. Pecah berantakan. Aku sungguh terkejut. Teriakan itu datangnya dari kamar Ayah. Ibu berlari bergegas meninggalkan dapur, aku bisa melihat wajahnya memucat.
Aku segera melompat dari atas pohon beringin. Berlari aku kearah suara itu. Dari balik jendela kamar Ayah, kucoba melihat apa yang terjadi di dalam. Di sana ada Ayah, Ayah ku. Telentang serampangan di atas tempat tidur. Di bawah tempat tidur, persis di sebelah kakinya yang menjuntai, ada genangan muntah. Tidak jelas muntah siapa, tapi hampir pasti itu muntah Ayah karena dia satu-satunya orang yang berada disana.
Waktu itu aku hanya bisa menatap dengan bingung dan mencoba mengingat-ingat. Ayah. Ayahku. Tidak pernah sekalipun aku merasa dekat dengannya. Selalu masih tidur ketika aku bangun dan berangkat sekolah. Lalu siang atau sore ketika aku pulang sekolah, tidak jarang masih juga ia terbaring di tempat tidurnya. Baru pada malam hari ketika aku sangat mengantuk, ia bangun dan pergi entah kemana. Makanpun selalu di kamar, diantarkan oleh Ibu. Tidak banyak bicara dan tidak banyak mengeluh. Hanya diam. Diam sendiri. Selalu diam. Dalam dunianya sendiri.
Hanya beberapa kali kudengar Ayah bersuara, keras, setengah berteriak. Tapi itupun dia lakukan di dalam kamarnya. Begitu sayup sehingga tidak jelas terdengar bicara apa, tapi selalu terdengar suara Ibu di sela-sela. Seperti juga berteriak, seperti tengah beradu mulut. Tapi tidak pernah benar-benar jelas apa yang dibicarakan.
Dan saat itu, kulihat dengan jelas, dan kali ini hampir pula bisa kudengar dengan jelas karena begitu lekat kutempelkan telingaku pada daun jendela, seraya tetap berupaya untuk tak terlihat. Kulihat Ibu berlari terpogoh-pogoh dengan wajahnya yang tirus dan semakin memucat, menghampiri Ayah.
Baaaanggsaaaatttt. Pelacur tuaaa! Kau letakkan dimana minumku itu, hah? Sudah tua tidak ada guna juga kau! Kembalikan!
Aku terkejut. Siapakah yang ia sebut sebagai pelacur tua? Ibuku. Ibuku jelas-jelas bukan pelacur. Dan seorang suami tentu tidak akan menyebut istrinya pelacur.
Kulihat Ibu menarik napas panjang. Diambilnya lap kumal yang teronggok di sudut kamar Ayah, lalu mulai mengelap genangan muntah di dekat kaki Ayah yang menjuntai itu.
Minumanmu sudah habis dari semalam. Botolnya sudah kubereskan. Apalagi yang kau inginkan? Tidak puas kau siksa aku sekarang kau siksa juga dirimu sendiri. Sudah begitu mabuk sampai muntah di kaki sendiri. Kalau tidak ada aku siapa lagi yang membersihkan?...
Breengsseeekkk!! Diam kau pelacur jalang!
Tiba-tiba saja kulihat kaki yang menjuntai itu seperti ujung cambuk yang terhentak melecut, begitu saja menerkam dan menerjang wajah Ibu. Begitu cepat, dan begitu seketika Ibu tersungkur. Diantara genangan muntah itu. Lalu Ayah bangkit dari tempat tidur dan kakinya yang besar itu mulai menghantam rusuk ringkih Ibuku.
Aku berteriak tertahan. Aku berlari, berlari secepat mungkin, menuju Ibuku yang sedang tersungkur. Aku berlari melintasi pekarangan rumah, masuk lewat pintu depan, dan terus berlari. Waktu itu hanya ada satu pikiran yang terlintas di kepalaku. Aku harus menolong Ibu. Maka aku terus berlari. Secepat-cepatnya.
Dari balik pintu yang terbuka, aku bisa melihat kaki Ayah yang dihentak-hentakkan olehnya menghantam rusuk Ibu. Aku berteriak. Rasanya ingin mengutuk mengapa kakiku, kaki ini begitu lambat bergerak. Seperti gerak lambat. Seperti hanya mengambang. Mengapa begitu lama sampai ke sana?
Tapi tiba-tiba saja, aku melihat banyak sekali helai-helai bulu putih menyeruak dari balik telapak kaki Ayah. Menyeruak, berjuta-juta, menyembur begitu cepat.
Setiap kali kaki Ayah menghantam Ibu, bulu-bulu putih itu menyeruak dalam jumlah yang sangat besar. Begitu banyak. Berterbangan.
Satu kali terjangan. Bulu-bulu terbang.
Dua kali terjangan. Bulu-bulu terbang.
Tiga kali terjangan. Bulu-bulu terbang.
Lalu Ayah beranjak keluar dari kamar, pergi menuju pintu depan, tanpa sempat memperhatikan aku yang sedang memperhatikannya.
Dan Ibu, Ibuku, terbaring telungkup tak bergerak di atas genangan coklat kekuningan muntah Ayah. Tangannya kapar tergeletak. Lalu rambut hitamnya yang tadinya tergelung, terurai berantakkan menutupi pipi, merambah bahu, dan menyatu, helai demi helai, mengambang perlahan, pada genangan itu. Tapi yang sungguh membuat takjub, di sekeliling tubuhnya yang tersungkur diam, bertebaran bulu-bulu halus putih dalam jumlah yang maha banyaknya. Ada yang begitu lembut menutupi sebagian tubuhnya, ada yang masih mengambang di udara, ada juga yang tergenggam dengan indah pada sela-sela jemarinya yang kapar tergeletak. Bulu-bulu yang begitu halus putih, diatas helai rambut hitam Ibu yang basah dan berantakan, dan genangan muntah Ayah yang coklat kekuningan. Putih, hitam dan coklat. Putih, hitam dan coklat. Putih, hitam dan coklat.
Begitulah, akhirnya aku mengetahui dari mana helai-helai bulu halus putih itu berasal, teman. Sudah habis teh hangatmu? Yah, mari diisi lagi. Sudah kukatakan kalau ini cerita yang panjang. Ah ya, memang ceritaku ini belum selesai, sabar dululah, aku tahu masih ada pertanyaan yang membayang dalam otakmu dan belum sepenuhnya terjawab oleh ceritaku ini, bukan? Sabar, sabar dululah, ayo dituang lagi tehnya. Aku akan bercerita lagi, tapi sekali lagi mohon maaf karena aku harus tetap bercerita sambil tetap melanjutkan pekerjaanku ini, teman. Seperti yang kukatakan tadi, pekerjaan ini harus segera selesai.
Selama waktu yang bahkan tidak bisa kucerna dengan otakku sendiri aku ingat betapa aku hanya terpaku diam ketika itu. Tidak tahu harus berbuat apa. Entah bagaimana, diantara kengerian yang kurasakan, aku bisa melihat betapa indahnya bulu-bulu halus putih yang berserakan di mana-mana dalam kamar itu. Tapi tiba-tiba tangan Ibu yang tadinya diam mulai bergerak pelan. Dan tersadarlah aku akan apa yang sedang terjadi. Perlahan kudekati Ibu dan kuguncang bahunya.
Ibu, Ibu...
Mata Ibu terbuka. Sayu menatap wajahku. Bibirnya bergumam. Sayup. Pelan.
Tolong bantu aku bangun, anakku. Terlalu banyak pekerjaan. Kali ini tidak bisa ditunda lagi sampai malam. Kali ini harus segera selesai.
Maka kubantu Ibu mengangkat tubuhnya. Dan ketika ia tegak berdiri, ia tidak berkata apa-apa lagi kecuali segera memunguti bulu-bulu halus putih itu yang bertebaran dimana-mana. Dikumpulkannya bulu-bulu halus putih itu sebanyak mungkin. Karena tidak muat lagi dikumpulkan dalam tangkupan tangannya, dibukanya bajunya yang telah setengah basah dan dijejalkannya bulu-bulu halus putih itu kedalam bajunya.
Aku terpaku diam. Tapi sorot mata Ibu yang menatap tajam dalam sayunya memaksaku untuk tidak diam. Lalu perlahan, kubantu Ibu memunguti bulu-bulu halus putih itu. Semuanya, sampai habis tak tersisa. Lalu kuikuti langkah kakinya.
Ibuku lalu pergi ke kamar sebelah. Disana ditumpahkannya bulu-bulu halus putih itu ke dalam keranjang kayu yang kosong menunggu. Aku tidak tahu lagi apa yang mesti kulakukan selain mengikuti gerak-geriknya. Lalu Ibu mengambil rangka sayap raksasa yang sudah hampir seluruhnya tertutup bulu putih itu dan mulai duduk menjahit.
Rangka sayap ini, anakku. Sudah hampir selesai.
Tidak lama lagi, ia bisa menjalankan tugasnya untuk terbang. Gumamnya seraya terus menjahit.
Aku terdiam menatap Ibu menjahit helai demi helai bulu-bulu halus putih itu. Ibu juga diam, terus bekerja. Setiap kali tangannya menjahitkan helai demi helai, jemarinya bergetar dan dadanya naik turun seperti menyengal napas. Dan ketika ia menjahitkan helai terakhir, aku bisa melihat betapa sempurnanya rangka sayap raksasa itu.
Rangka itu, kini tidak lagi rangka. Ia sudah berubah menjadi sepasang sayap raksasa yang sempurna. Begitu indah, begitu lembut, begitu putih. Rasanya siapapun bisa diterbangkan olehnya. Betapa indah. Betapa sempurna. Lalu kulihat Ibu tersenyum, dan kedua matanya yang sayu, berbinar indah.
Aku juga tersenyum, lama. Akhirnya selesai juga. Lalu Ibu berdiri, diusungnya sayap putih raksasa itu dengan kedua tangannya. Lama ia menatap, lalu ia mulai berputar. Berputar dengan senang.
Anakku, lihat! Bagus sekali bukan sayap ini? Lihat! Akhirnya selesai juga sayap ini. Coba lihat! Alangkah indahnya. Begitu putih, begitu putih karena cinta. Betapa indah.
Ibu mulai menari berputar-putar. Aku juga, turut bahagia untuknya. Lalu Ibu mencoba memasang sayap raksasa itu pada punggungnya, dan kami menari bersama, berputar dan melompat. Lalu sayap raksasa yang indah itu, yang begitu cantik dipenuhi bulu-bulu halus putih, dibelakang punggung Ibu, mulai mengepak perlahan.
Tiba-tiba ibu mulai terbatuk. Dan dari mulutnya, darah mengalir deras. Ibu terbatuk tanpa henti. Aku hanya bisa berteriak. Berteriak lama sekali. Kulihat darah yang mengalir itu mulai membasahi baju Ibu, terus turun ke lantai, lalu mengalir menuju bulu-bulu halus putih yang masih tersisa di dalam keranjang kayu. Sekejap saja kulihat bulu-bulu halus putih itu kini berubah warna. Semua merah! Semua merah seperti darah!
Dan Ibuku, Ibuku tidak lagi menari, ia terbatuk untuk yang terakhir kali, lalu tersenyum lembut ke arahku. Dan sayap putih yang terpasang di punggungnya itu mengepak semakin kerap. Menjalankan tugasnya. Membawa ia terbang. Dan ia pun terbang. Terbang untuk selamanya. Tidak lagi kembali.
Begitulah ceritanya, teman. Itulah sebabnya mengapa setiap kali aku mendengar kata ‘Ibu’, yang terlintas di dalam benakku adalah sayap, lalu yang kedua adalah mati. Karena sejak saat itulah Ibuku mati dan tidak pernah kembali. Terbang bersama sayap raksasanya. Oh iya, hampir lupa. Mungkin kamu bertanya-tanya apa yang kulakukan setelah itu. Yah, kamu tentu masih ingat dengan keranjang kayu yang masih berisi bulu-bulu halus putih yang telah menjadi merah itu, bukan? Keranjang kayu itu kubawa pergi, lalu aku segera mencari tempat di mana aku bisa duduk, dan mulai menjahit.
Mulai menjahit, tanpa pernah berhenti. Bahkan sampai sekarang ini, teman. Diatas rangka sayap yang juga raksasa, yang ketika itu kutemukan secara ajaib dibawah kolong tempat tidur ayah. Aku terus menjahit, menjahit tanpa henti. Maka dari itu sama sekali tidak bisa kuhentikan pekerjaanku ini, bahkan untuk berbincang denganmu. Sayap ini harus segera selesai.
Tapi tentu saja rangka sayap yang kujahitkan ini sangat berbeda dengan milik ibuku. Jauh berbeda. Bulu-bulu yang kujahitkan tidak berwarna putih, warnanya merah, semerah darah. Sungguh wajar, karena, tidak seperti Ibu, bulu-bulu halus ini tidak berasal dari cinta. Entah dari apa aku juga kurang begitu mengerti. Yang jelas, aku hanya mengambil bulu-bulu halus merah yang tersisa dari keranjang kayu itu.
Dan aku tidak akan berhenti sampai pekerjaanku selesai. Bulu-bulu halus merah ini juga tidak ada habisnya, temanku. Setiap kali aku bercerita dan terpaksa mengingat kembali, tentang sayap itu, terjangan kaki ayah, dan darah yang keluar dari mulut Ibuku, mendadak jutaan bulu-bulu halus merah akan menyeruak dari kepalaku. Dan aku harus segera menjahitnya, sampai selesai. Agar rangka sayap ini tidak lagi menjadi rangka, tapi sebuah sayap besar berwarna merah darah yang siap menerbangkan aku ke tempat orang itu, orang yang telah membunuh Ibuku.
Depok, 1 Februari 2005
I’m happy… no matter how people say how insignificant it is.
To me it IS significant. And I’m hopping… hop… hop…
:)
This is the short story; it was on Koran Tempo, Sunday April 24th 2005. And I’m so blissful. One in the paper was the edited one (the edited one is better, really… thanx to the editor), this one is unedited. Hope you might enjoy the short story, as for myself, I like this one better than the previous one (the Ketika Seratustujuhpuluh Kelinci Berlompatan dari Kepalamu Hari Ini) because when I was making this one, it’s so intricate, it’s like making a puzzle game. Enjoy, hope you could solve the puzzle.
Thank you so much mum and dad for always supporting me
and for the fat pig, who loves cats better than he loves humanity (and yes I’m beginning to be able to see it from his point of view), I love you so much, if it wasn’t because the discussion I had with you, all the rather harsh critics, all the saying of ‘cerpen lo tu hampir sama jeleknya sama cerpen2 sastra Indonesia yang lain, yang sok bermain simbol padahal sebenernya ga ada isinya…’ or ‘lo bermain analogi tu cuma di permukaan aja, you should be more focus on the plot, not just on the details’, I would not be able to make this. I love you so much, really really.
>HUG<
Ibuku Menjahit Sayap
-Risyiana Muthia-
Kalau ada yang bertanya, apa yang terlintas dibenakku ketika mendengar kata ‘Ibu’, kata yang pertama kali muncul adalah... sayap. Lalu yang kedua adalah... mati.
Kalau kemudian mereka lanjut bertanya mengapa sayap dan mengapa mati, maka aku akan meminta mereka untuk duduk manis di sampingku. Karena jawaban dari pertanyaan itu adalah awal dari sebuah cerita yang panjang sekali. Maka aku akan mulai memperingatkan mereka tentang panjangnya cerita ini, lalu kalau mereka bersikeras, aku akan menyarankan mereka untuk mengambil secangkir kopi pahit, atau teh hangat, atau biskuit-biskuit kecil, atau apapun yang bisa membuat mereka nyaman sambil mendengarkan ceritaku.
Sedang aku? ya sudahlah tidak usah kuatir tentang aku. Tentu saja aku akan tetap berada disini, dan dengan senang hati akan kuceritakan semuanya kepada mereka. Tidak usah kuatir, aku tidak merasa terganggu sama sekali. Aku sudah terbiasa bercerita tentang apa saja tanpa harus berhenti sejenak dari pekerjaan maha penting yang sedang kulakukan ini. Maka tentu saja akan kuminta mereka untuk duduk diam sajalah mendengarkanku bercerita kalau memang ingin tahu. Hanya saja, mohon dimaafkan kalau aku tidak bisa selalu menatap lekat-lekat mata lawan bicaraku ketika bercerita. Maklum, pekerjaan maha penting ini harus segera selesai.
Rupanya kamu ingin mendengar ceritaku, ya? Baiklah. Biarkan aku memulai. Sudah siap dengan teh hangatmu? Bagus. Sekali lagi aku mohon maaf kalau aku tidak menghentikan sejenak pekerjaanku untuk bercerita kepadamu. Sama sekali bukan karena tidak hormat, jadi yah... maklum sajalah.
Ibuku. Ibuku adalah sayap. Ibuku adalah sayap yang cantik. Lebih tepatnya lagi, ibuku adalah pembuat sayap yang cantik. Hampir sepanjang kemampuanku merekam keberadaannya dalam ingatanku, tidak pernah sekalipun terbayang dirinya tanpa sepasang rangka sayap raksasa yang selalu ada di pangkuannya setiap malam, setiap hari dalam hidupnya. Rangka sayap itu begitu besar dan kokoh, dan diatasnya, tersulam dengan rapi ratusan bahkan ribuan helai-helai bulu halus putih yang dijahitkan oleh ibu satu demi satu pada malam demi malam.
Aku ingat, ketika usiaku belum genap delapan tahun, pernah aku bertanya pada ibu untuk apa ibu menjahitkan ratusan bahkan ribuan helai-helai bulu halus putih itu setiap malam pada sepasang rangka sayap raksasa itu. Untuk membuat sayap, begitu katanya, sayap yang bisa membawa terbang, lanjutnya lagi sambil menyunggingkan senyum cantik, senyum paling cantik yang pernah kulihat. Lalu ibu akan memintaku mengambilkan sebuah keranjang kayu yang teronggok di sudut ruangan untuk diletakkan di dekat kakinya yang terus saja menjahit helai-helai bulu halus putih pada rangka sayap itu. Kulongok isi keranjang, isinya helai-helai bulu halus putih lagi, saling bertumpukan seperti kapas yang baru dipetik dari pohonnya.
Lalu aku ingat, ketika itu aku juga sempat bertanya, dari mana Ibu mendapatkan helai-helai bulu itu. Begitu halus, lebih halus dari helai bulu apapun yang pernah kusentuh. Juga, begitu putih dan murni, tidak ada setitikpun noda ataupun bercak diatas halusnya. Dan entah bagaimana caranya dan darimana mendapatkannya, setiap malam, keranjang kayu itu selalu saja dipenuhi helai-helai bulu halus putih yang baru, meskipun pada malam sebelumnya, kesemuanya telah ia jahitkan pada sepasang rangka sayap raksasa itu.
Helai-helai bulu halus ini, datang dari cinta, anakku. Kata ibu ketika itu.
Aku hanya diam dan mengiyakan. Tidak paham benar apa maksud Ibu. Tapi tahun demi tahun berikutnya, ketika aku mulai beranjak besar dan bulan demi bulan sudah kulalui merintih sakit khas perempuan, aku mulai memikirkan kembali jawaban Ibu atas pertanyaanku ketika itu. Cinta? Cinta apakah? Cintakah yang memproduksi helai-helai bulu halus putih itu sehingga setiap malam selalu ada di dalam keranjang kayu milik Ibu? Cintakah yang membuat ibu begitu tekun dan tanpa henti menjahitkan helai-helai bulu halus putih itu pada sepasang rangka sayap raksasa setiap malam? Cintakah? Cinta pada siapakah?
Waktu itu aku hendak menanyakannya lagi pada Ibu, tapi urung karena malam itu Ibu terlihat begitu lelah, meski ia terus menjahitkan helai-helai bulu halus putih itu pada sepasang rangka sayap yang kini sudah nyaris seluruhnya berwarna putih tertutup bulu. Tinggal beberapa bagian saja yang masih berupa rangka, rupanya pekerjaan Ibu sudah hampir selesai.
Sementara itu, entah bagaimana dan tidak kumengerti kenapa, tubuhnya terlihat semakin lemah. Ia memang tetap cantik, dibalik cekungnya mata dan tirusnya pipi. Juga tubuh yang ringkih bagai tulang dibalut kulit, kulit yang kering dan berkeriput. Namun betapapun ringkihnya ia, betapapun gemetar tangannya ketika merajutkan helai bulu itu, ia tetap menjahitkannya pada rangka sayap raksasa itu. Dengan perlahan, dengan lembut, dengan pasti.
Ibu, berhenti dulu lah. Kataku.
Tidak bisa, anakku. Tidak bisa berhenti. Ini harus segera selesai. Katanya.
Tapi untuk apa, Ibu? Sudah bertahun-tahun Ibu mengerjakan pekerjaan ini. Berhentilah barang sejenak. Tidak bisakah semalam saja Ibu langsung terlelap tanpa menjahit? Semakin kurus saja tubuh Ibu. Ibu perlu istirahat.
Tidak bisa, anakku. Setiap helai bulu, yang ada pada hari ini, harus segera terpasang pada tempatnya. Tidak bisa dibiarkan teronggok pada keranjang begitu saja. Harus segera terpasang, harus segera terjahit. Maka dari itu Ibu tidak bisa begitu saja tidur tanpa menjahit.
Kalau begitu jangan cari lagi bulu-bulu itu, Ibu! Suaraku menjadi meninggi.
Jangan lagi Ibu cari bulu-bulu itu, jadi keranjang itu tidak perlu terisi, dan Ibu bisa memejamkan mata tanpa harus menguras tenaga terlebih dahulu. Sudahlah, Ibu. Jangan cari lagi. Tidur saja lah.
Anakku. Kata Ibuku, matanya menatap lembut.
Tidak pernah sekalipun bulu-bulu halus putih ini ibu cari. Tidak pernah sekalipun. Setiap hari ia selalu muncul sendiri dan mengisi keranjang kayu. Apapun yang Ibu kerjakan pada siangnya, bagaimanapun Ibu berupaya menjalani hari dengan berbeda, bulu-bulu halus putih itu selalu muncul sendiri dan setiap helai bulu yang ada harus segera dijahit sampai tuntas. Tidak boleh ada yang tersisa. Maka dari itu Ibu terus menjahit, sayangku.
Aku menghela napas panjang. Lalu duduk di sudut kaki Ibu. Kuulurkan tanganku dan mulai memijat lembut mata kakinya. Kaki yang merenta.
Baiklah kalau memang demikian, Ibu. Tapi bahkan tidak bolehkah aku bertanya, mengapa helai-helai bulu putih dan halus itu harus segera dijahitkan? Untuk apa, Ibu?
Ibu terdiam. Lama sekali. Tidak sepatah kata. Meski jemarinya tidak henti menjahit bulu-bulu halus putih itu.
Lalu tiba-tiba ia menatapku, tajam.
Anakku. Sayap dibuat untuk terbang. Ibu harus menjahit setiap helai bulu yang ada agar pekerjaan ibu segera selesai. Jadi Ibu tidak perlu menjahit lagi dan Ibu bisa beristirahat. Lalu sayap ini, sayap raksasa ini, bisa menjalankan tugasnya yang utama, membuat terbang.
Aku terdiam, saat itu tidak begitu kumengerti maksud Ibu. Kupijat-pijat kakinya dan kubiarkan ia terus menjahit sampai habis bulu-bulu halus putih pada keranjang kayu itu. Tapi di dalam hatiku, aku bertekad untuk mencegah bulu-bulu halus putih itu datang mengisi keranjang kayu pada esok hari. Sehingga Ibuku bisa beristirahat tanpa harus menjahit, walaupun untuk semalam saja. Ia sudah terlalu lelah, sejenak istirahat akan sangat berarti untuknya.
Untuk itu, tentunya aku harus tahu dari mana bulu-bulu halus putih itu berasal.
Keesokan harinya, aku bertekad untuk tidak berangkat ke sekolah. Aku ingin mengikuti Ibu seharian, sehingga aku tahu dari mana bulu-bulu putih itu berasal. Ibu, tentunya jangan sampai tahu. Maka pagi itu, seusai sarapan, kucium tangannya dan berlagakku keluar dari pintu. Tapi tidak kuteruskan jalanku ke luar pagar, berbelokku dan bersembunyi.
Di pekarangan samping rumah, ada sebuah pohon beringin yang besar dan lebat sekali. Sulur-sulurnya berjuntaian sampai ke tanah. Aku memanjat pohon itu dan bersembunyi di sana. Dari atas bisa sangat leluasa melihat ke bawah, dan di bawah, di balik jendela, bisa kulihat dengan jelas Ibuku yang sedang mencuci piring bekas sarapan.
Tidak ada yang aneh, batinku. Sampai saat ini belum ada bulu-bulu yang tiba-tiba menyeruak dari balik punggung Ibu atau bertaburan dari langit secara mendadak. Lalu dimana? Tapi tunggu dulu, aku harus bersabar. Hari masih pagi.
Ibu mencuci piring. Setelah itu piring-piring yang sudah bersih dilap dan diletakkan pada rak piring. Kemudian Ibu merapikan meja makan dan mengganti air pada vas bunga. Semuanya biasa saja. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang janggal, aktivitas pagi hari yang sungguh biasa saja.
Tapi tiba-tiba terdengar teriakan dari dalam kamar. Vas bunga yang ibu pegang terlepas dan jatuh. Pecah berantakan. Aku sungguh terkejut. Teriakan itu datangnya dari kamar Ayah. Ibu berlari bergegas meninggalkan dapur, aku bisa melihat wajahnya memucat.
Aku segera melompat dari atas pohon beringin. Berlari aku kearah suara itu. Dari balik jendela kamar Ayah, kucoba melihat apa yang terjadi di dalam. Di sana ada Ayah, Ayah ku. Telentang serampangan di atas tempat tidur. Di bawah tempat tidur, persis di sebelah kakinya yang menjuntai, ada genangan muntah. Tidak jelas muntah siapa, tapi hampir pasti itu muntah Ayah karena dia satu-satunya orang yang berada disana.
Waktu itu aku hanya bisa menatap dengan bingung dan mencoba mengingat-ingat. Ayah. Ayahku. Tidak pernah sekalipun aku merasa dekat dengannya. Selalu masih tidur ketika aku bangun dan berangkat sekolah. Lalu siang atau sore ketika aku pulang sekolah, tidak jarang masih juga ia terbaring di tempat tidurnya. Baru pada malam hari ketika aku sangat mengantuk, ia bangun dan pergi entah kemana. Makanpun selalu di kamar, diantarkan oleh Ibu. Tidak banyak bicara dan tidak banyak mengeluh. Hanya diam. Diam sendiri. Selalu diam. Dalam dunianya sendiri.
Hanya beberapa kali kudengar Ayah bersuara, keras, setengah berteriak. Tapi itupun dia lakukan di dalam kamarnya. Begitu sayup sehingga tidak jelas terdengar bicara apa, tapi selalu terdengar suara Ibu di sela-sela. Seperti juga berteriak, seperti tengah beradu mulut. Tapi tidak pernah benar-benar jelas apa yang dibicarakan.
Dan saat itu, kulihat dengan jelas, dan kali ini hampir pula bisa kudengar dengan jelas karena begitu lekat kutempelkan telingaku pada daun jendela, seraya tetap berupaya untuk tak terlihat. Kulihat Ibu berlari terpogoh-pogoh dengan wajahnya yang tirus dan semakin memucat, menghampiri Ayah.
Baaaanggsaaaatttt. Pelacur tuaaa! Kau letakkan dimana minumku itu, hah? Sudah tua tidak ada guna juga kau! Kembalikan!
Aku terkejut. Siapakah yang ia sebut sebagai pelacur tua? Ibuku. Ibuku jelas-jelas bukan pelacur. Dan seorang suami tentu tidak akan menyebut istrinya pelacur.
Kulihat Ibu menarik napas panjang. Diambilnya lap kumal yang teronggok di sudut kamar Ayah, lalu mulai mengelap genangan muntah di dekat kaki Ayah yang menjuntai itu.
Minumanmu sudah habis dari semalam. Botolnya sudah kubereskan. Apalagi yang kau inginkan? Tidak puas kau siksa aku sekarang kau siksa juga dirimu sendiri. Sudah begitu mabuk sampai muntah di kaki sendiri. Kalau tidak ada aku siapa lagi yang membersihkan?...
Breengsseeekkk!! Diam kau pelacur jalang!
Tiba-tiba saja kulihat kaki yang menjuntai itu seperti ujung cambuk yang terhentak melecut, begitu saja menerkam dan menerjang wajah Ibu. Begitu cepat, dan begitu seketika Ibu tersungkur. Diantara genangan muntah itu. Lalu Ayah bangkit dari tempat tidur dan kakinya yang besar itu mulai menghantam rusuk ringkih Ibuku.
Aku berteriak tertahan. Aku berlari, berlari secepat mungkin, menuju Ibuku yang sedang tersungkur. Aku berlari melintasi pekarangan rumah, masuk lewat pintu depan, dan terus berlari. Waktu itu hanya ada satu pikiran yang terlintas di kepalaku. Aku harus menolong Ibu. Maka aku terus berlari. Secepat-cepatnya.
Dari balik pintu yang terbuka, aku bisa melihat kaki Ayah yang dihentak-hentakkan olehnya menghantam rusuk Ibu. Aku berteriak. Rasanya ingin mengutuk mengapa kakiku, kaki ini begitu lambat bergerak. Seperti gerak lambat. Seperti hanya mengambang. Mengapa begitu lama sampai ke sana?
Tapi tiba-tiba saja, aku melihat banyak sekali helai-helai bulu putih menyeruak dari balik telapak kaki Ayah. Menyeruak, berjuta-juta, menyembur begitu cepat.
Setiap kali kaki Ayah menghantam Ibu, bulu-bulu putih itu menyeruak dalam jumlah yang sangat besar. Begitu banyak. Berterbangan.
Satu kali terjangan. Bulu-bulu terbang.
Dua kali terjangan. Bulu-bulu terbang.
Tiga kali terjangan. Bulu-bulu terbang.
Lalu Ayah beranjak keluar dari kamar, pergi menuju pintu depan, tanpa sempat memperhatikan aku yang sedang memperhatikannya.
Dan Ibu, Ibuku, terbaring telungkup tak bergerak di atas genangan coklat kekuningan muntah Ayah. Tangannya kapar tergeletak. Lalu rambut hitamnya yang tadinya tergelung, terurai berantakkan menutupi pipi, merambah bahu, dan menyatu, helai demi helai, mengambang perlahan, pada genangan itu. Tapi yang sungguh membuat takjub, di sekeliling tubuhnya yang tersungkur diam, bertebaran bulu-bulu halus putih dalam jumlah yang maha banyaknya. Ada yang begitu lembut menutupi sebagian tubuhnya, ada yang masih mengambang di udara, ada juga yang tergenggam dengan indah pada sela-sela jemarinya yang kapar tergeletak. Bulu-bulu yang begitu halus putih, diatas helai rambut hitam Ibu yang basah dan berantakan, dan genangan muntah Ayah yang coklat kekuningan. Putih, hitam dan coklat. Putih, hitam dan coklat. Putih, hitam dan coklat.
Begitulah, akhirnya aku mengetahui dari mana helai-helai bulu halus putih itu berasal, teman. Sudah habis teh hangatmu? Yah, mari diisi lagi. Sudah kukatakan kalau ini cerita yang panjang. Ah ya, memang ceritaku ini belum selesai, sabar dululah, aku tahu masih ada pertanyaan yang membayang dalam otakmu dan belum sepenuhnya terjawab oleh ceritaku ini, bukan? Sabar, sabar dululah, ayo dituang lagi tehnya. Aku akan bercerita lagi, tapi sekali lagi mohon maaf karena aku harus tetap bercerita sambil tetap melanjutkan pekerjaanku ini, teman. Seperti yang kukatakan tadi, pekerjaan ini harus segera selesai.
Selama waktu yang bahkan tidak bisa kucerna dengan otakku sendiri aku ingat betapa aku hanya terpaku diam ketika itu. Tidak tahu harus berbuat apa. Entah bagaimana, diantara kengerian yang kurasakan, aku bisa melihat betapa indahnya bulu-bulu halus putih yang berserakan di mana-mana dalam kamar itu. Tapi tiba-tiba tangan Ibu yang tadinya diam mulai bergerak pelan. Dan tersadarlah aku akan apa yang sedang terjadi. Perlahan kudekati Ibu dan kuguncang bahunya.
Ibu, Ibu...
Mata Ibu terbuka. Sayu menatap wajahku. Bibirnya bergumam. Sayup. Pelan.
Tolong bantu aku bangun, anakku. Terlalu banyak pekerjaan. Kali ini tidak bisa ditunda lagi sampai malam. Kali ini harus segera selesai.
Maka kubantu Ibu mengangkat tubuhnya. Dan ketika ia tegak berdiri, ia tidak berkata apa-apa lagi kecuali segera memunguti bulu-bulu halus putih itu yang bertebaran dimana-mana. Dikumpulkannya bulu-bulu halus putih itu sebanyak mungkin. Karena tidak muat lagi dikumpulkan dalam tangkupan tangannya, dibukanya bajunya yang telah setengah basah dan dijejalkannya bulu-bulu halus putih itu kedalam bajunya.
Aku terpaku diam. Tapi sorot mata Ibu yang menatap tajam dalam sayunya memaksaku untuk tidak diam. Lalu perlahan, kubantu Ibu memunguti bulu-bulu halus putih itu. Semuanya, sampai habis tak tersisa. Lalu kuikuti langkah kakinya.
Ibuku lalu pergi ke kamar sebelah. Disana ditumpahkannya bulu-bulu halus putih itu ke dalam keranjang kayu yang kosong menunggu. Aku tidak tahu lagi apa yang mesti kulakukan selain mengikuti gerak-geriknya. Lalu Ibu mengambil rangka sayap raksasa yang sudah hampir seluruhnya tertutup bulu putih itu dan mulai duduk menjahit.
Rangka sayap ini, anakku. Sudah hampir selesai.
Tidak lama lagi, ia bisa menjalankan tugasnya untuk terbang. Gumamnya seraya terus menjahit.
Aku terdiam menatap Ibu menjahit helai demi helai bulu-bulu halus putih itu. Ibu juga diam, terus bekerja. Setiap kali tangannya menjahitkan helai demi helai, jemarinya bergetar dan dadanya naik turun seperti menyengal napas. Dan ketika ia menjahitkan helai terakhir, aku bisa melihat betapa sempurnanya rangka sayap raksasa itu.
Rangka itu, kini tidak lagi rangka. Ia sudah berubah menjadi sepasang sayap raksasa yang sempurna. Begitu indah, begitu lembut, begitu putih. Rasanya siapapun bisa diterbangkan olehnya. Betapa indah. Betapa sempurna. Lalu kulihat Ibu tersenyum, dan kedua matanya yang sayu, berbinar indah.
Aku juga tersenyum, lama. Akhirnya selesai juga. Lalu Ibu berdiri, diusungnya sayap putih raksasa itu dengan kedua tangannya. Lama ia menatap, lalu ia mulai berputar. Berputar dengan senang.
Anakku, lihat! Bagus sekali bukan sayap ini? Lihat! Akhirnya selesai juga sayap ini. Coba lihat! Alangkah indahnya. Begitu putih, begitu putih karena cinta. Betapa indah.
Ibu mulai menari berputar-putar. Aku juga, turut bahagia untuknya. Lalu Ibu mencoba memasang sayap raksasa itu pada punggungnya, dan kami menari bersama, berputar dan melompat. Lalu sayap raksasa yang indah itu, yang begitu cantik dipenuhi bulu-bulu halus putih, dibelakang punggung Ibu, mulai mengepak perlahan.
Tiba-tiba ibu mulai terbatuk. Dan dari mulutnya, darah mengalir deras. Ibu terbatuk tanpa henti. Aku hanya bisa berteriak. Berteriak lama sekali. Kulihat darah yang mengalir itu mulai membasahi baju Ibu, terus turun ke lantai, lalu mengalir menuju bulu-bulu halus putih yang masih tersisa di dalam keranjang kayu. Sekejap saja kulihat bulu-bulu halus putih itu kini berubah warna. Semua merah! Semua merah seperti darah!
Dan Ibuku, Ibuku tidak lagi menari, ia terbatuk untuk yang terakhir kali, lalu tersenyum lembut ke arahku. Dan sayap putih yang terpasang di punggungnya itu mengepak semakin kerap. Menjalankan tugasnya. Membawa ia terbang. Dan ia pun terbang. Terbang untuk selamanya. Tidak lagi kembali.
Begitulah ceritanya, teman. Itulah sebabnya mengapa setiap kali aku mendengar kata ‘Ibu’, yang terlintas di dalam benakku adalah sayap, lalu yang kedua adalah mati. Karena sejak saat itulah Ibuku mati dan tidak pernah kembali. Terbang bersama sayap raksasanya. Oh iya, hampir lupa. Mungkin kamu bertanya-tanya apa yang kulakukan setelah itu. Yah, kamu tentu masih ingat dengan keranjang kayu yang masih berisi bulu-bulu halus putih yang telah menjadi merah itu, bukan? Keranjang kayu itu kubawa pergi, lalu aku segera mencari tempat di mana aku bisa duduk, dan mulai menjahit.
Mulai menjahit, tanpa pernah berhenti. Bahkan sampai sekarang ini, teman. Diatas rangka sayap yang juga raksasa, yang ketika itu kutemukan secara ajaib dibawah kolong tempat tidur ayah. Aku terus menjahit, menjahit tanpa henti. Maka dari itu sama sekali tidak bisa kuhentikan pekerjaanku ini, bahkan untuk berbincang denganmu. Sayap ini harus segera selesai.
Tapi tentu saja rangka sayap yang kujahitkan ini sangat berbeda dengan milik ibuku. Jauh berbeda. Bulu-bulu yang kujahitkan tidak berwarna putih, warnanya merah, semerah darah. Sungguh wajar, karena, tidak seperti Ibu, bulu-bulu halus ini tidak berasal dari cinta. Entah dari apa aku juga kurang begitu mengerti. Yang jelas, aku hanya mengambil bulu-bulu halus merah yang tersisa dari keranjang kayu itu.
Dan aku tidak akan berhenti sampai pekerjaanku selesai. Bulu-bulu halus merah ini juga tidak ada habisnya, temanku. Setiap kali aku bercerita dan terpaksa mengingat kembali, tentang sayap itu, terjangan kaki ayah, dan darah yang keluar dari mulut Ibuku, mendadak jutaan bulu-bulu halus merah akan menyeruak dari kepalaku. Dan aku harus segera menjahitnya, sampai selesai. Agar rangka sayap ini tidak lagi menjadi rangka, tapi sebuah sayap besar berwarna merah darah yang siap menerbangkan aku ke tempat orang itu, orang yang telah membunuh Ibuku.
Depok, 1 Februari 2005
Sunday, April 24, 2005
A Sex Talk
Funny hot noon, I was guzzling down my iced cappuccino at Kansas with my friends when suddenly one of them popped a very funny question to me.
‘Sisie, do you consider yourself liberal?’
“Huh? Me? I don’t know. I guess so. Why?’
‘What do you think about free sex?’
‘Huh? It’s okay, I guess. Why?’
‘Would you do that?’
I slurped the last drop of my iced cappuccino.
‘If done safely, I really don’t see anything wrong in doing that. Why? How about you? Would you do that?’
‘Umm… no…’
‘Why?’
‘For religious reason, I guess. It’s forbidden in my religion’
‘Oh okay. So based on your religion, you choose not to do sex at all.’
‘Not really, I mean. I never really do sex, like… the intercourse, because, for me it’s considered as the real sex.’
‘You mean, you do the kissing, necking, petting and all that, except for the intercourse?’
‘Because it’s not the real sex, and I want to keep my virginity until I got married. I don’t do the intercourse because it could rupture my hymen.'
Hmm… interesting, so apparently she chooses not to do ‘sex’ –of course in this case, in her definition of that term – because of two main reasons. First, because sex is forbidden in her religion, and she had chosen to obey whatever stated in her religion. Second, because she wants to keep her virginity until she got married.
I can say that I do respect people’s right to choose. If she prefers to avoid whatever forbidden in her religion, of course it’s her right to do so. However, if we look it closer – even though, of course, I’m not an expert of Islam – we can see that Koran has never quite made a distinct definition about sex. In other words, I have never read anything from the Koran that differs what is called as the ‘real sex’ and the ‘not-so-real-sex’. As a matter of fact, I never knew that Islam has the concept of virginity at all, that is, before marriage, women’s hymen got to remain untouchable. As far as I know, all physical contacts related with human’s lechery between man and woman that is not married is forbidden in Islam.
The definition of sex itself does not specifically mean sexual intercourse. Any sexual activity, relating with genital, could be considered as sex because that’s where the term comes from, the genitals. So, if she does any activity that is intended to arouse the genital, such as petting, masturbating, or giving oral sex, that could be categorized as doing sexual activities, that is, sex.
Now, let’s take a look of the concept of the virginity. We know that Islam never mention about any concept of hymen, so apparently the virginity of a woman does not determined by the remaining hymen in her vagina. And since Islam has never stated that sex is specifically meant as sexual intercourse, we could appoint a definition that in Islam, any sexual related activity could be considered as sex. And of course, logically speaking, she’s no longer a virgin if she had already done any kind of sexual related activity.
Furthermore, since Islam has never mentioned the concept as the hymen at all, we could see that this whole concept of hymen and virginity is a society-constructed concept, a society norm. Norm, as all we know, is a standard or pattern, especially of social behavior, that is typical or expected of a group. Now, because norm is a typical standard of expected behavior in groups of society, it is very logical that different groups of society may apply different sets of norm. The norm is constructed, made and applied based on the various concepts adapted by the particular groups of society, they could came from the traditional customs adapted by the society, or it might even be constructed by any particular purpose. Those characteristics, of course, make norm a versatile concept that is changeable and has the possibility of evolving, later in the future. For instance, it’s used to be a common expected behavior for Indonesian women to be married before her twenties or else she will be looked down and called as an old maiden. Now, because the society’s concept about marriage has changed, we can see that nowadays people no longer adapt that norm. One that is believed as a very clear rule now might as well be changed if the society no longer believes in the concept.
Therefore, basing the choice of not doing an act of sexual intercourse and to remain virgin before marriage on a religious belief and a society-constructed concept is very feeble and implausible. First, because in religion, any act of sexual related activity is forbidden, so even though no sexual intercourse activity had carried out, it is still categorized as forbidden in the religion. If you based your choice on religious reason, then you have to be consistent, don’t do any sexual related activity at all if you don’t want to violate what is written in your religion.
Second, because society norm is versatile and changeable, her choice might be irrelevant if the society happens to change the concept of the virginity itself. And if you only based your choice on what is believed by the society without really knowing the reasons why or put your own stance toward it, then you are only doing the act of conforming to the society standard.
Like I said, I really do respect in people’s right to choose. If you happen to choose not to do sex at all, it’s your right to do so. But at least do it because you know exactly why you do choose the choice, for instance, because you might feel uncomfortable to do it not with a sole partner, that is, your husband. Or probably, you avoid sex before marriage because it might cause bad effects for your body – which of course untrue except you’re doing it in a most damaging and excessive way – or for your psychological state. Or any other reasons constructed and acknowledged by your own consciousness.
If you don’t have any reason to object sex, then why choose not to do it? Don’t let yourself be a sex object, you ask for sex… and people object…
Haehuhauehuahuhuahuea…. Ini jayus bener…
Signing off in a weird cold night where I suppose to prepare myself for my ‘ras dan gender’ presentation for tomorrow.
-sisie-
‘Sisie, do you consider yourself liberal?’
“Huh? Me? I don’t know. I guess so. Why?’
‘What do you think about free sex?’
‘Huh? It’s okay, I guess. Why?’
‘Would you do that?’
I slurped the last drop of my iced cappuccino.
‘If done safely, I really don’t see anything wrong in doing that. Why? How about you? Would you do that?’
‘Umm… no…’
‘Why?’
‘For religious reason, I guess. It’s forbidden in my religion’
‘Oh okay. So based on your religion, you choose not to do sex at all.’
‘Not really, I mean. I never really do sex, like… the intercourse, because, for me it’s considered as the real sex.’
‘You mean, you do the kissing, necking, petting and all that, except for the intercourse?’
‘Because it’s not the real sex, and I want to keep my virginity until I got married. I don’t do the intercourse because it could rupture my hymen.'
Hmm… interesting, so apparently she chooses not to do ‘sex’ –of course in this case, in her definition of that term – because of two main reasons. First, because sex is forbidden in her religion, and she had chosen to obey whatever stated in her religion. Second, because she wants to keep her virginity until she got married.
I can say that I do respect people’s right to choose. If she prefers to avoid whatever forbidden in her religion, of course it’s her right to do so. However, if we look it closer – even though, of course, I’m not an expert of Islam – we can see that Koran has never quite made a distinct definition about sex. In other words, I have never read anything from the Koran that differs what is called as the ‘real sex’ and the ‘not-so-real-sex’. As a matter of fact, I never knew that Islam has the concept of virginity at all, that is, before marriage, women’s hymen got to remain untouchable. As far as I know, all physical contacts related with human’s lechery between man and woman that is not married is forbidden in Islam.
The definition of sex itself does not specifically mean sexual intercourse. Any sexual activity, relating with genital, could be considered as sex because that’s where the term comes from, the genitals. So, if she does any activity that is intended to arouse the genital, such as petting, masturbating, or giving oral sex, that could be categorized as doing sexual activities, that is, sex.
Now, let’s take a look of the concept of the virginity. We know that Islam never mention about any concept of hymen, so apparently the virginity of a woman does not determined by the remaining hymen in her vagina. And since Islam has never stated that sex is specifically meant as sexual intercourse, we could appoint a definition that in Islam, any sexual related activity could be considered as sex. And of course, logically speaking, she’s no longer a virgin if she had already done any kind of sexual related activity.
Furthermore, since Islam has never mentioned the concept as the hymen at all, we could see that this whole concept of hymen and virginity is a society-constructed concept, a society norm. Norm, as all we know, is a standard or pattern, especially of social behavior, that is typical or expected of a group. Now, because norm is a typical standard of expected behavior in groups of society, it is very logical that different groups of society may apply different sets of norm. The norm is constructed, made and applied based on the various concepts adapted by the particular groups of society, they could came from the traditional customs adapted by the society, or it might even be constructed by any particular purpose. Those characteristics, of course, make norm a versatile concept that is changeable and has the possibility of evolving, later in the future. For instance, it’s used to be a common expected behavior for Indonesian women to be married before her twenties or else she will be looked down and called as an old maiden. Now, because the society’s concept about marriage has changed, we can see that nowadays people no longer adapt that norm. One that is believed as a very clear rule now might as well be changed if the society no longer believes in the concept.
Therefore, basing the choice of not doing an act of sexual intercourse and to remain virgin before marriage on a religious belief and a society-constructed concept is very feeble and implausible. First, because in religion, any act of sexual related activity is forbidden, so even though no sexual intercourse activity had carried out, it is still categorized as forbidden in the religion. If you based your choice on religious reason, then you have to be consistent, don’t do any sexual related activity at all if you don’t want to violate what is written in your religion.
Second, because society norm is versatile and changeable, her choice might be irrelevant if the society happens to change the concept of the virginity itself. And if you only based your choice on what is believed by the society without really knowing the reasons why or put your own stance toward it, then you are only doing the act of conforming to the society standard.
Like I said, I really do respect in people’s right to choose. If you happen to choose not to do sex at all, it’s your right to do so. But at least do it because you know exactly why you do choose the choice, for instance, because you might feel uncomfortable to do it not with a sole partner, that is, your husband. Or probably, you avoid sex before marriage because it might cause bad effects for your body – which of course untrue except you’re doing it in a most damaging and excessive way – or for your psychological state. Or any other reasons constructed and acknowledged by your own consciousness.
If you don’t have any reason to object sex, then why choose not to do it? Don’t let yourself be a sex object, you ask for sex… and people object…
Haehuhauehuahuhuahuea…. Ini jayus bener…
Signing off in a weird cold night where I suppose to prepare myself for my ‘ras dan gender’ presentation for tomorrow.
-sisie-
Thursday, April 07, 2005
The bad fruit nobody buys...
Scar
He left a card, a bar of soap and a scrubbing brush next to a note
That said "use these down to your bones"
And before I knew I had shiny skin and it felt easy being clean like him
I thought "this one knows better than I do"
A triangle trying to squeeze through a circle
He tried to cut me so I'd fit
And doesn't that sound familiar?
Doesn't that hit too close to home?
Doesn't that make you shiver; the way things could've gone?
And doesn't it feel peculiar when everyone wants a little more?
And so that I do remember to never go that far,
Could you leave me with a scar?
So the next one came with a bag of treats,
she smelled like sugar and spoke like the sea
And she told me don't trust them, trust me
Then she pulled at my stitches one by one, looked at my insides clicking
her tongue and said "This will all have to come undone"
A triangle trying to squeeze through a circle
She tried to cut me so I'd fit
And doesn't that sound familiar?
Doesn't that hit too close to home?
Doesn't that make you shiver; the way things could have gone?
And doesn't it feel peculiar when everyone wants a little more?
And so that I do remember to never go that far,
Could you leave me with a scar?
I think I realized just in time, although my old self was hard to find
You bathe me in your finest wine but I'll never give you mine'
Cos I'm a little bit tired of fearing that I'll be the bad fruit nobody buys
Tell me, did you think we'd all dream the same?
-Missy Higgins-
ever felt of being hated by the one you love
because it seemed that you love him/her too much?
because it seemed that you love his presence too much
because it seemed that you love all the things he did to you
and all the smile, all the warm smile he gave you
seemed that you enjoyed it too much?
-sigh-
He left a card, a bar of soap and a scrubbing brush next to a note
That said "use these down to your bones"
And before I knew I had shiny skin and it felt easy being clean like him
I thought "this one knows better than I do"
A triangle trying to squeeze through a circle
He tried to cut me so I'd fit
And doesn't that sound familiar?
Doesn't that hit too close to home?
Doesn't that make you shiver; the way things could've gone?
And doesn't it feel peculiar when everyone wants a little more?
And so that I do remember to never go that far,
Could you leave me with a scar?
So the next one came with a bag of treats,
she smelled like sugar and spoke like the sea
And she told me don't trust them, trust me
Then she pulled at my stitches one by one, looked at my insides clicking
her tongue and said "This will all have to come undone"
A triangle trying to squeeze through a circle
She tried to cut me so I'd fit
And doesn't that sound familiar?
Doesn't that hit too close to home?
Doesn't that make you shiver; the way things could have gone?
And doesn't it feel peculiar when everyone wants a little more?
And so that I do remember to never go that far,
Could you leave me with a scar?
I think I realized just in time, although my old self was hard to find
You bathe me in your finest wine but I'll never give you mine'
Cos I'm a little bit tired of fearing that I'll be the bad fruit nobody buys
Tell me, did you think we'd all dream the same?
-Missy Higgins-
ever felt of being hated by the one you love
because it seemed that you love him/her too much?
because it seemed that you love his presence too much
because it seemed that you love all the things he did to you
and all the smile, all the warm smile he gave you
seemed that you enjoyed it too much?
-sigh-
Sunday, April 03, 2005
ehm.. ehm..
Sedang bingung.
Ratusan permen dan cokelat hasil jarahan yang sekarang terserak ditempat gw akankah gw jual di kereta2/ bis2, titip di warung atau dijadiin sembako aja ya...
Oh iya... kalo ada yang berminat sama kaos berkualitas dengan harga murah bisa hubungi gw, murah kok...cuma sepuluh ribu aja! Tersedia dalam pilihan warna merah dan putih dengan ukuran M, L dan XL...
hehehehehehehehe....
Iya Andrei... gw murahan... tau kok hehehehehe...
--sisie--
Ratusan permen dan cokelat hasil jarahan yang sekarang terserak ditempat gw akankah gw jual di kereta2/ bis2, titip di warung atau dijadiin sembako aja ya...
Oh iya... kalo ada yang berminat sama kaos berkualitas dengan harga murah bisa hubungi gw, murah kok...cuma sepuluh ribu aja! Tersedia dalam pilihan warna merah dan putih dengan ukuran M, L dan XL...
hehehehehehehehe....
Iya Andrei... gw murahan... tau kok hehehehehe...
--sisie--
Misteri Empu Gandring
hehehehehehehehehehehe...
gw janji untuk membuat entry tentang ABS si empu gandring sama Ovi... yah wiss viii... nih gw tulis...
alkisah di sebuah kerajaan, hiduplah seorang Raja yang berkuasa bernama Tunggul Ametung, dia memperistri seorang wanita cantik jelita bernama Ken Dedes yang biasa dipanggil Dedes Permataku... namun demikian saudara-saudara... ternyata sang Dedes Permataku ini berselingkuh dengan seorang pria tegap kekar dan berambut gondrong bernama Arok...
Tapi sungguh... tulisan ini bukan mengenai Tunggul Ametung, Dedes Permataku apalagi Arok... tulisan ini tentang seorang empu pembuat keris yang tinggal nun jauh di pelosok hutan belantara. Sang empu rupanya adalah empu kepercayaan kerajaan yang biasa membuat keris-keris maha sakti untuk keperluan kerajaan. Suatu ketika, Arok memesan beratus-ratus keris sakti kepada si empu Gandring ini. Dan disanalah ia, duduk mengasah keris diatas balok papan yang ceritanya adalah batu sambil mengenakan celana selutut berwarna putih yang dibalut kain-kain untuk mempertegas kesakralan si empu itu.
Dan sang empu pun duduk terpekur, serius sekali... sambil... bertelanjang dada.
Lalu terdengarlah bisik-bisik di bangku penonton....
selanjutnya ya terserah anda lah. perlu diingat. tulisan ini sama sekali bukan bentuk provokasi.
apalagi pengantar stensilan.
nahh, lunas janji gw kan vi?
---sisie---
gw janji untuk membuat entry tentang ABS si empu gandring sama Ovi... yah wiss viii... nih gw tulis...
alkisah di sebuah kerajaan, hiduplah seorang Raja yang berkuasa bernama Tunggul Ametung, dia memperistri seorang wanita cantik jelita bernama Ken Dedes yang biasa dipanggil Dedes Permataku... namun demikian saudara-saudara... ternyata sang Dedes Permataku ini berselingkuh dengan seorang pria tegap kekar dan berambut gondrong bernama Arok...
Tapi sungguh... tulisan ini bukan mengenai Tunggul Ametung, Dedes Permataku apalagi Arok... tulisan ini tentang seorang empu pembuat keris yang tinggal nun jauh di pelosok hutan belantara. Sang empu rupanya adalah empu kepercayaan kerajaan yang biasa membuat keris-keris maha sakti untuk keperluan kerajaan. Suatu ketika, Arok memesan beratus-ratus keris sakti kepada si empu Gandring ini. Dan disanalah ia, duduk mengasah keris diatas balok papan yang ceritanya adalah batu sambil mengenakan celana selutut berwarna putih yang dibalut kain-kain untuk mempertegas kesakralan si empu itu.
Dan sang empu pun duduk terpekur, serius sekali... sambil... bertelanjang dada.
Lalu terdengarlah bisik-bisik di bangku penonton....
selanjutnya ya terserah anda lah. perlu diingat. tulisan ini sama sekali bukan bentuk provokasi.
apalagi pengantar stensilan.
nahh, lunas janji gw kan vi?
---sisie---
Wednesday, March 30, 2005
The First Death
what is death?
is there any life after death?
when i'm died, will my soul still be lingering here?
will i still be the same mind entity that i used to be?
will i still love the person i'm loving now?
will i still enjoy the ability to question, to observe and to contemplate?
what is death?
is it only a transformation of my solid body being,
in to another form of being?
is it a deformization of my solid body being?
or is it a metamophorsis, an evolution (or revolution) of my present entity into another form?
what is death?
will i still see colours in my dead vision?
will i still taste the sweet, the sour and the bitter?
will i even still exist?
will i even still exist?
--sisie--
is there any life after death?
when i'm died, will my soul still be lingering here?
will i still be the same mind entity that i used to be?
will i still love the person i'm loving now?
will i still enjoy the ability to question, to observe and to contemplate?
what is death?
is it only a transformation of my solid body being,
in to another form of being?
is it a deformization of my solid body being?
or is it a metamophorsis, an evolution (or revolution) of my present entity into another form?
what is death?
will i still see colours in my dead vision?
will i still taste the sweet, the sour and the bitter?
will i even still exist?
will i even still exist?
--sisie--
Sunday, March 27, 2005
Wednesday, March 23, 2005
feelin... stupidly and sickly melancholic
...outside's drizzling steadily,
here, Des'ree's Kissing You...
.......
.......
pride can stand thousand trials
The strong will never fall
But watching stars without you
My soul cries
Heaving heart is full of pain
Ohh, ahh the aching
'cause i'm kissing you, ahh
I'm kissing you, love
Touch me deep, pure and true
Give to me forever
'cause i'm kissing you, ahh
I'm kissing you love
And where are you now
Where are you now
'cause i'm kissing you
I'm kissing you, love
.....
oh yes and i can say that my heart is not in its default stage.
should i find a way to cope with it or should i just justify it?
.....
ah none.
cheesingly romantic, and irritating, and spoiled, and weak, and 'menye'ish..
ah none.
just none.
hmm... zzzzzzzz.....
here, Des'ree's Kissing You...
.......
.......
pride can stand thousand trials
The strong will never fall
But watching stars without you
My soul cries
Heaving heart is full of pain
Ohh, ahh the aching
'cause i'm kissing you, ahh
I'm kissing you, love
Touch me deep, pure and true
Give to me forever
'cause i'm kissing you, ahh
I'm kissing you love
And where are you now
Where are you now
'cause i'm kissing you
I'm kissing you, love
.....
oh yes and i can say that my heart is not in its default stage.
should i find a way to cope with it or should i just justify it?
.....
ah none.
cheesingly romantic, and irritating, and spoiled, and weak, and 'menye'ish..
ah none.
just none.
hmm... zzzzzzzz.....
Sunday, March 20, 2005
The Pigs' Musing...
Saturday afternoon, me and him was doing what so called ‘leyeh-leyeh’ – Sindrow’s term, hope it’s not copyrighted… - smiling contentedly to each other when suddenly he gave a very soothing gaze to my eyes and asked
‘Why did we meet?’
A bit bemused of his question, I answered ‘because we worked at ak’ sa ra, remember?’
‘I know, dear. But I mean, why did we meet?’
‘I don’t know. Because it’s just happened, I guess. I happened to work there and so did you, and so there we were then.’
‘No, no… I mean, why? Why did we meet? Was it planned? Was it because of chaos? Was it incidental? I mean… all of a sudden I worked there and I found you and I chose to fall for you and then I chose to let you know my feeling and here we are now, feeling as happy and as content as we are now. Why? Destiny?’
‘Destiny? No. I don’t believe in such thing.’ I said.
‘You mean… you don’t believe that something had already written?’
‘No. I mean… well yes, I do believe in destiny, sort of, but the destiny does not mean that somebody’s pattern has already been written entirely, so all he got to do is to walk on the written pattern. I do believe that in somebody’s life, there are several bold patches. Those bold patches are the intersection on whatever random acts that person chooses to do.’
‘What do you mean?’ he asked.
‘It’s like this. In your life, of course there are paths, several different paths. For instance, you could chose to enter the path of not to send the application weeks earlier before the recruitment were already opened, or you could chose to enter the path of coming to the job interview two hours late that will resulted in you being replaced in the different schedule with mine. However, if we talk about that so called destiny, supposed ‘you meet me’ is the bold patch in your life, whatever minor paths you chose, it will always led you to the intersection of the patterns, that is, you meeting me. Maybe that’s what people called as destiny.’ I said.

‘For instance, the different lines in the picture are the random paths you have in your life. The red line is probably the path of you not coming to the job interview. The pink line could be the path of you choosing to flirt with Ditri at campus before deciding to apply at her office, and so on and so forth. However, no matter how twisted and twirling the path you chose, those different paths will come into one intersection, the bold patch, that is, you meeting me. After experiencing the bold patch, then the random paths again. It is you who made the random path, it is you who decide to choose or not to choose it, but somewhere beyond, there’ll be another bold patch that you’ll meet. That is destiny. I guess’ I continued.
He then looked at me, and said.
‘Interesting. But, I think every different random path chosen will result in a different bold patch. Entirely different. For instance, if I chose to come late back then in our first day of work, I would not met you that morning, would not be able to see you panicking because you thought you’d came too early, and we would not spend the morning smoking and chattering while waiting the time to finally point at nine thirty where we could start to work. The result will be entirely different, then. Had I not undergone those things, I might not come into the same bold patch if I had undergone those things. So if I chose different path, I will be led into different pattern, of course I might met you, and most likely I would also fall for you, that is, an intersection of pattern, but the pattern I undergo would be different, baby.’

‘See the lines, suppose that blue line is the path of me choosing to come early that morning, then that choice led me to see you that morning, smiling relievedly when seeing me there, and then here goes the bold blue patch, we met and we talked. However, if I happened to choose the orange line, suppose it is the path of me choosing to wake up a bit late that morning, I would came late, then I would not see you, then probably instead of talking to me that morning, you would end up talking to Ditri or Yumma or whoever person it might be, then the pattern of the blue path and the orange path are entirely different, of course there might be intersection, but the final result would not be the same.’
‘Interesting.’
‘It is, isn’t it?’
‘So you mean, if you had not chosen the path you chose back then, we might not be here, right here, at this moment?’ I asked.
‘I guess. If I chose the red line, I might still have the same feeling of loving you, but probably because of the sequence of acts caused by that particular choice, we might had not came in to this stage of relationship, probably we would just about to start it or probably even better, the feeling we have right now might be even deeper. It is a matter of the path we choose. Different path, different pattern, different result.’
‘Very interesting. So it means that, had you not chosen the path you chose back then, and had I not chosen the path I had chosen, you would not be here, holding my hand, and we might not come across this feeling we have now?’
‘I guess.’
‘Babi, whatever theory that is correct, I’m glad we’ve chosen what we had chosen. I’m happy that right now, in this precise moment, we’re here, doing exactly what we’re doing, with the exact feeling we’re feeling right now. I love you. Really really.’
‘I’m glad too, love. Really really.’
--sisie--
‘Why did we meet?’
A bit bemused of his question, I answered ‘because we worked at ak’ sa ra, remember?’
‘I know, dear. But I mean, why did we meet?’
‘I don’t know. Because it’s just happened, I guess. I happened to work there and so did you, and so there we were then.’
‘No, no… I mean, why? Why did we meet? Was it planned? Was it because of chaos? Was it incidental? I mean… all of a sudden I worked there and I found you and I chose to fall for you and then I chose to let you know my feeling and here we are now, feeling as happy and as content as we are now. Why? Destiny?’
‘Destiny? No. I don’t believe in such thing.’ I said.
‘You mean… you don’t believe that something had already written?’
‘No. I mean… well yes, I do believe in destiny, sort of, but the destiny does not mean that somebody’s pattern has already been written entirely, so all he got to do is to walk on the written pattern. I do believe that in somebody’s life, there are several bold patches. Those bold patches are the intersection on whatever random acts that person chooses to do.’
‘What do you mean?’ he asked.
‘It’s like this. In your life, of course there are paths, several different paths. For instance, you could chose to enter the path of not to send the application weeks earlier before the recruitment were already opened, or you could chose to enter the path of coming to the job interview two hours late that will resulted in you being replaced in the different schedule with mine. However, if we talk about that so called destiny, supposed ‘you meet me’ is the bold patch in your life, whatever minor paths you chose, it will always led you to the intersection of the patterns, that is, you meeting me. Maybe that’s what people called as destiny.’ I said.

‘For instance, the different lines in the picture are the random paths you have in your life. The red line is probably the path of you not coming to the job interview. The pink line could be the path of you choosing to flirt with Ditri at campus before deciding to apply at her office, and so on and so forth. However, no matter how twisted and twirling the path you chose, those different paths will come into one intersection, the bold patch, that is, you meeting me. After experiencing the bold patch, then the random paths again. It is you who made the random path, it is you who decide to choose or not to choose it, but somewhere beyond, there’ll be another bold patch that you’ll meet. That is destiny. I guess’ I continued.
He then looked at me, and said.
‘Interesting. But, I think every different random path chosen will result in a different bold patch. Entirely different. For instance, if I chose to come late back then in our first day of work, I would not met you that morning, would not be able to see you panicking because you thought you’d came too early, and we would not spend the morning smoking and chattering while waiting the time to finally point at nine thirty where we could start to work. The result will be entirely different, then. Had I not undergone those things, I might not come into the same bold patch if I had undergone those things. So if I chose different path, I will be led into different pattern, of course I might met you, and most likely I would also fall for you, that is, an intersection of pattern, but the pattern I undergo would be different, baby.’

‘See the lines, suppose that blue line is the path of me choosing to come early that morning, then that choice led me to see you that morning, smiling relievedly when seeing me there, and then here goes the bold blue patch, we met and we talked. However, if I happened to choose the orange line, suppose it is the path of me choosing to wake up a bit late that morning, I would came late, then I would not see you, then probably instead of talking to me that morning, you would end up talking to Ditri or Yumma or whoever person it might be, then the pattern of the blue path and the orange path are entirely different, of course there might be intersection, but the final result would not be the same.’
‘Interesting.’
‘It is, isn’t it?’
‘So you mean, if you had not chosen the path you chose back then, we might not be here, right here, at this moment?’ I asked.
‘I guess. If I chose the red line, I might still have the same feeling of loving you, but probably because of the sequence of acts caused by that particular choice, we might had not came in to this stage of relationship, probably we would just about to start it or probably even better, the feeling we have right now might be even deeper. It is a matter of the path we choose. Different path, different pattern, different result.’
‘Very interesting. So it means that, had you not chosen the path you chose back then, and had I not chosen the path I had chosen, you would not be here, holding my hand, and we might not come across this feeling we have now?’
‘I guess.’
‘Babi, whatever theory that is correct, I’m glad we’ve chosen what we had chosen. I’m happy that right now, in this precise moment, we’re here, doing exactly what we’re doing, with the exact feeling we’re feeling right now. I love you. Really really.’
‘I’m glad too, love. Really really.’
--sisie--
Wednesday, March 09, 2005
it's not a curse... it's a tear burst...
sublime sublime sublime sublime
kadang-kadang gw pikir gw SUNGGUH over estimate myself...
gimana enggak coba,
jual diri jadi MAPRES, mengangguk gembira ala puppy yang kegirangan waktu ditawarin lomba debat di FE, lompat-lompat minta dikasih tugas bikin artikel buat bulletin, sampai bersemangat '45 menyelamatkan fakultas gw sendiri dari kebobrokan demokrasi yang dibuat sebagai justifikasi untuk mengislamkan kampus oleh orang-orang Islam fundamentalis itu...
hasilnya adalah...
kadang-kadang gw pikir gw SUNGGUH over estimate myself...
gimana enggak coba,
jual diri jadi MAPRES, mengangguk gembira ala puppy yang kegirangan waktu ditawarin lomba debat di FE, lompat-lompat minta dikasih tugas bikin artikel buat bulletin, sampai bersemangat '45 menyelamatkan fakultas gw sendiri dari kebobrokan demokrasi yang dibuat sebagai justifikasi untuk mengislamkan kampus oleh orang-orang Islam fundamentalis itu...
hasilnya adalah...
- besok gw mesti submit paper buat Mapres, belom bikin sama sekali, not even started, bahan masih di download, dan itu sebabnya gw masih di warnet sampai semalam ini...
- disket ketinggalan di kostan, padahal editan artikel gw ada disitu, artinya gw gak bakal bisa ngirim editannya setidak2nya sampai besok. Andrei dan Tami akan merajam gw. well... mungkin nggak Tami, tapi Andrei... definitely...
- presentasi buat paper lomba debat di FE belom gw buat sama sekali, latihan apalagi... padahal lombanya hari Senin ini... sungguh mati gw ini.
- tulisan gw buat FIB masih setengah jadi, dan gw agak ragu untuk melanjutkannya... for several reasons that i've discussed with Ruli... though he clearly despised my so called 'too soft and not-going-to-win' approach... tapi makasih ya babi untuk selalu menjadi partner gw untuk terus mikir mikir mikir dan mikir... >hug<
- Speaking belum, Writing belum, ngabisin baca buku yang sejubel2 gw pinjem itu juga apalagi...
hyaikh... tampar aja lah gw... ni Adobe Acrobat masih 90% padahal gw dah nunggu hampir dua jam...
aku
butuh katarsis...
--sisie--
pindahan tahap II
gw udah ngecat.
the original sound track was Yellow-coldplay
diselingi dengan sedikit Somewhere Beyond the Sea-nya Robbie Williams yang dinyanyiin sepenggal-sepenggal (karena gak apal liriknya...)
Dr Worms - They Might be Giants yang dinyanyiin dengan suara satu dua tiga dan sepuluh bareng-bareng antie n hany
Ordinary People - Frente
Love Fool - The Cardigans
No One Else Come Close - Joe
pokoknya gw udah ngecat.
barang-barang akhirnya udah dipindahin semua.
kecuali mug Scorpio kesayangan gw sama piring beruang dari mama
besok mau ngambil ah ke kostan yang lama.
re-arrange barang dan bersih-bersih bikin gw GILA
bersin bersin bersin bersin bersin terus sampe tepar dan gak mampu bergerak.
tapi akhirnya lumayan rapi juga.
beli beli beli peralatan kostan.
anjir mahal.
tapi gak pa pa, yang penting bahagia.
he
he
sekarang tinggal ngurusin lemari,
or else segala kardus-kardus menggila itu belum bisa dipensiunin...
Sophaaannn hua hua huaaaa... ayo bantuin gw ngebongkaarr...
Om yoosskiiiie... katanya mo minjemin mobiiillll...
hiks.
doakan saya ya (sambil hormat ala benteng takeshi)
--sisie--
the original sound track was Yellow-coldplay
diselingi dengan sedikit Somewhere Beyond the Sea-nya Robbie Williams yang dinyanyiin sepenggal-sepenggal (karena gak apal liriknya...)
Dr Worms - They Might be Giants yang dinyanyiin dengan suara satu dua tiga dan sepuluh bareng-bareng antie n hany
Ordinary People - Frente
Love Fool - The Cardigans
No One Else Come Close - Joe
pokoknya gw udah ngecat.
barang-barang akhirnya udah dipindahin semua.
kecuali mug Scorpio kesayangan gw sama piring beruang dari mama
besok mau ngambil ah ke kostan yang lama.
re-arrange barang dan bersih-bersih bikin gw GILA
bersin bersin bersin bersin bersin terus sampe tepar dan gak mampu bergerak.
tapi akhirnya lumayan rapi juga.
beli beli beli peralatan kostan.
anjir mahal.
tapi gak pa pa, yang penting bahagia.
he
he
sekarang tinggal ngurusin lemari,
or else segala kardus-kardus menggila itu belum bisa dipensiunin...
Sophaaannn hua hua huaaaa... ayo bantuin gw ngebongkaarr...
Om yoosskiiiie... katanya mo minjemin mobiiillll...
hiks.
doakan saya ya (sambil hormat ala benteng takeshi)
--sisie--
Friday, March 04, 2005
MIRJO MIRJO MIRJO
huaahhh..
MIRJO adalah sebuah kata yang sungguh MIRJO karena dipenuhin dengan keMIRJO-MIRJOannya...
betapa MIRJOnya ketika dengan tega mengusir tiga orang anak manis yang datang dengan girang sambil berjingkat-jingkat bahagia berharap bisa menimba ilmu..
sungguh MIRJO adalah MIRJO yang sekali MIRJO tetap MIRJO..
andrei, bagaimana kalo kita runtuhkan saja segala jenis keMIRJOan itu? trus ntar kita curi buku2nya..
bom pake molotov..
atau bakar pake bensin yang sekarang udah jadi barang elit... supaya si MIRJO bisa bahagia terbakar dalam ke elitannya..
sungguh MIRJO...
baru MIRJO lah sebuah MIRJO yang tega meMIRJO...
dengan geraman ala MIRJO
-sisie-
MIRJO adalah sebuah kata yang sungguh MIRJO karena dipenuhin dengan keMIRJO-MIRJOannya...
betapa MIRJOnya ketika dengan tega mengusir tiga orang anak manis yang datang dengan girang sambil berjingkat-jingkat bahagia berharap bisa menimba ilmu..
sungguh MIRJO adalah MIRJO yang sekali MIRJO tetap MIRJO..
andrei, bagaimana kalo kita runtuhkan saja segala jenis keMIRJOan itu? trus ntar kita curi buku2nya..
bom pake molotov..
atau bakar pake bensin yang sekarang udah jadi barang elit... supaya si MIRJO bisa bahagia terbakar dalam ke elitannya..
sungguh MIRJO...
baru MIRJO lah sebuah MIRJO yang tega meMIRJO...
dengan geraman ala MIRJO
-sisie-
Wednesday, March 02, 2005
today is another absurd day
hari ini absurd sekali..
-menangis di kelas sintaks
-saved by the bell lagi2 di kelas sintaks, terus ketawa cekikikan sambil mengutip lirik lagu Sherryl Crow
-tertidur sangat lelap di sofa perpustakaan sambil memeluk buku Puritan
-meminjam buku baru padahal belum selesai membaca buku lama
-menerima telpon yang membuat bengong selama sepuluh detik
-makan dua buah kue sus dan merasa sangat kenyang
sungguh absurd...
harus segera balik dan membolak-balik majalah lama.
--sisie--
-menangis di kelas sintaks
-saved by the bell lagi2 di kelas sintaks, terus ketawa cekikikan sambil mengutip lirik lagu Sherryl Crow
-tertidur sangat lelap di sofa perpustakaan sambil memeluk buku Puritan
-meminjam buku baru padahal belum selesai membaca buku lama
-menerima telpon yang membuat bengong selama sepuluh detik
-makan dua buah kue sus dan merasa sangat kenyang
sungguh absurd...
harus segera balik dan membolak-balik majalah lama.
--sisie--
The CuPu Philosophy
CuPu adalah Curi-curi Perhatian Untukku...
HUaHahUAHAhaHA...
CuPu adalah Cupu-Cupu yang lucu.. kemana engkau terbang...
HuAHaHAhuaHAHAha...
CuPu adalah Cup Cup Uaaahh...
HuaAHUAHAhUHahaha...
i love being cupu :p
-sisie-
HUaHahUAHAhaHA...
CuPu adalah Cupu-Cupu yang lucu.. kemana engkau terbang...
HuAHaHAhuaHAHAha...
CuPu adalah Cup Cup Uaaahh...
HuaAHUAHAhUHahaha...
i love being cupu :p
-sisie-
Sunday, February 27, 2005
Debat tsunami part II? Akankah?
Postingan di blog nya Laila selalu membuat gw ingin memulai debat 'tsunami' lagi... hehehehehe...
mulai nggak ya, mulai nggak yaa..
hehehehe
mulai nggak ya, mulai nggak yaa..
hehehehe
Saturday, February 26, 2005
--intermezzo--
akhir2 ini gw mikirin erlan-
mikirin banget.
nggak ngerti kenapa.
mungkin karena produk PMS yang menggila,
PMS emang jahanam... suka bikin gw mikir yang nggak jelas..
mendadak sendu, terus nangis sesenggukan aneh..
eh sepuluh menit kemudian kayak terkena suntikan serum euphoria dan ketawa2 kayak nenek lampir, untuk alasan yang nggak jelas juga...
yap. gw mikirin erlan.
nggak mikirin yang macem2 juga, gw cuma pengen tau apakah dia baik2 aja..
kalo baik2 aja ya gw bersyukur, karena gw emang sayang banget sama dia, nggak pengen kalo dia knapa2...
tapi rasanya jahat banget kalo gw sekarang angkat telpon dan menghubungi dia,
meskipun cuma buat nanya kabar aja..
mungkin dia emang nggak pengen ngedenger suara gw lagi, atau malahan udah sama sekali menghapus gw dari ingatan dia... kaya di eternal sunshine for the spotless mind... ya nggak apa-apa, soalnya itu kan hak dia..
tapi ya gw pasti sedih, soalnya... buat gw, he will always stay here in my heart, no matter what, my love for him stays, even beyond romance.. jadi nggak mungkin gw menghapus dia dari ingatan gw... cinta nya tinggal, meskipun gw terus melanjutkan hidup gw...
kata babi, cinta itu adalah ketika orang itu udah menjadi bagian dari diri lo.
i love u ruli, love u so much.
thx for being my best friend,
thx for being here in my life.
--sisie--
mikirin banget.
nggak ngerti kenapa.
mungkin karena produk PMS yang menggila,
PMS emang jahanam... suka bikin gw mikir yang nggak jelas..
mendadak sendu, terus nangis sesenggukan aneh..
eh sepuluh menit kemudian kayak terkena suntikan serum euphoria dan ketawa2 kayak nenek lampir, untuk alasan yang nggak jelas juga...
yap. gw mikirin erlan.
nggak mikirin yang macem2 juga, gw cuma pengen tau apakah dia baik2 aja..
kalo baik2 aja ya gw bersyukur, karena gw emang sayang banget sama dia, nggak pengen kalo dia knapa2...
tapi rasanya jahat banget kalo gw sekarang angkat telpon dan menghubungi dia,
meskipun cuma buat nanya kabar aja..
mungkin dia emang nggak pengen ngedenger suara gw lagi, atau malahan udah sama sekali menghapus gw dari ingatan dia... kaya di eternal sunshine for the spotless mind... ya nggak apa-apa, soalnya itu kan hak dia..
tapi ya gw pasti sedih, soalnya... buat gw, he will always stay here in my heart, no matter what, my love for him stays, even beyond romance.. jadi nggak mungkin gw menghapus dia dari ingatan gw... cinta nya tinggal, meskipun gw terus melanjutkan hidup gw...
kata babi, cinta itu adalah ketika orang itu udah menjadi bagian dari diri lo.
i love u ruli, love u so much.
thx for being my best friend,
thx for being here in my life.
--sisie--
Pindahan Tahap I
hari ini gw pindahan.
tahap I.
menggila.
hmm...
cape banget pula.
tu.
wa.
tu.
wa.
bolak balik bolak balik mindahin barang.
belum lagi mikirin siapa yang bakal bantuin ngecat.
belum lagi mikirin beli ini beli itu.
uang nya kurang lagi.
aaaaaaaaaaaarrrggghh...
kesal.
tapi excited juga.
pengen cepet2 menghias2 dan bikin rumahnya senyaman mungkin untuk ditinggali.
tapi itu sebelum si babi dateng menengok malem ini dan membuat rumah gw kelihatan seperti barak pengungsian yang tidak layak ditinggali - meminjam istilah babi, uncivilized -
huah. dasar babi gedongan.
awas ya kalo rumah gw udah jadi trus lo mampir2, gw jitak nanti.
you know what, my sweet pig, if only i have all the money in the world,
gw akan nyewa apartement, bukan cubical..
dimana gw bisa menyuguhi elo dengan red wine, sambil duduk2 di couch yang super nyaman, sejuk dengan air conditioner, mendengarkan your favorite jazz tune.
hehe.
tapi kan gw cuma mahasiswa miskin ala PSP..
yang lagi seneng2nya karena bisa punya sepenggalan space sendiri yang bisa gw hias2 sesuka hati dengan uang hasil gw kumpulin sendiri.
i know you think it's uncivilized, but it's going to be my home and i'm going to make it homey :)
selamat tidur, babi.
--sisie--
tahap I.
menggila.
hmm...
cape banget pula.
tu.
wa.
tu.
wa.
bolak balik bolak balik mindahin barang.
belum lagi mikirin siapa yang bakal bantuin ngecat.
belum lagi mikirin beli ini beli itu.
uang nya kurang lagi.
aaaaaaaaaaaarrrggghh...
kesal.
tapi excited juga.
pengen cepet2 menghias2 dan bikin rumahnya senyaman mungkin untuk ditinggali.
tapi itu sebelum si babi dateng menengok malem ini dan membuat rumah gw kelihatan seperti barak pengungsian yang tidak layak ditinggali - meminjam istilah babi, uncivilized -
huah. dasar babi gedongan.
awas ya kalo rumah gw udah jadi trus lo mampir2, gw jitak nanti.
you know what, my sweet pig, if only i have all the money in the world,
gw akan nyewa apartement, bukan cubical..
dimana gw bisa menyuguhi elo dengan red wine, sambil duduk2 di couch yang super nyaman, sejuk dengan air conditioner, mendengarkan your favorite jazz tune.
hehe.
tapi kan gw cuma mahasiswa miskin ala PSP..
yang lagi seneng2nya karena bisa punya sepenggalan space sendiri yang bisa gw hias2 sesuka hati dengan uang hasil gw kumpulin sendiri.
i know you think it's uncivilized, but it's going to be my home and i'm going to make it homey :)
selamat tidur, babi.
--sisie--
Wednesday, February 23, 2005
blanket grunt
birokrasi itu menyebalkan dan orang-orang 'diatas' itu suka sok pintar dan mengira diri mereka tau segalanya padahal mereka nggak lebih dari selimut tua yang modelnya udah ketinggalan zaman dan terlalu tipis untuk dijadikan penghangat tapi nggak bisa dibuang karena punya nilai historis dan perasaan sentimentil nggak jelas dari yang punya selimut. padahal, sekiranya orang yang punya selimut itu mau menggunakan otaknya sedikit, seharusnya dia cukup pintar untuk sekedar menyisihkan uang dan membeli selimut baru tanpa membiarkan dirinya terkena resiko penyakit yang disebabkan oleh kuman dan debu-debu yang sudah terlalu lama menumpuk dan berkubang di selimut tua yang ketinggalan zaman itu.
terlalu memandang tinggi diri sendiri memang nggak baik and please slap me everytime i unconsciously do that.
---sisie---
Thu, feb 24, 05
terlalu memandang tinggi diri sendiri memang nggak baik and please slap me everytime i unconsciously do that.
---sisie---
Thu, feb 24, 05
Sunday, February 20, 2005
congratulation! you are now oficially retarded
Konon, katanya, dunia sastra di Indonesia, atau katakanlah setidaknya di kota-kota besar, sedang berpesta pora menyambut gegap gempitanya gairah membaca dan membuat cerita yang kini semakin memuncak saja.
Konon, katanya, inilah zamannya dimana semua orang mulai kembali suka membaca, bahwa membaca buku akhirnya menjadi tren, dan semua orang, terutama generasi muda, berlomba-lomba menghabiskan lembar demi lembar rupiah untuk membeli buku, atau kalau pun belum punya uang pada saat itu, bisa bersesak memenuhi toko buku-toko buku lokal setempat lalu bersegera ke depan rak-rak yang memuat novel-novel untuk kemudian melahap buku sambil berdiri.
Mari angkat gelas dan ikut bersuka? Nanti dulu. Menurut gw, yang terjadi bukannya kebangkitan kembali gairah dan budaya membaca di kalangan masyarakat, tapi pembodohan generasi besar-besaran.
-sigh-
Minggu pagi ini gw beli Koran Tempo, artikel utamanya diberi judul ‘Sastra Jerawat’ membahas tentang chicklit, teenlit, atau apapun namanya, yang sedang happening (meminjam istilah Mtv) di kota-kota besar di Indonesia.
Katanya, novel-novel remaja lokal bertajuk chicklit atau teenlit yang diterbitkan itu, dengan bermacam-macam judul dan pengarang baru, terjual sampai puluhan ribu kopi, dan mengalami cetak ulang sampai berkali-kali hanya dalam tahun pertama penerbitannya. Sebuah prestasi yang luar biasa apalagi kalau kita mulai membandingkan dengan novel-novel sastra karangan sastrawan kenamaan. Mengutip pendapat Arswendo Atmowiloto, buku-buku karangan para sastrawan besar saja, semisal Putu Wijaya atau Rendra, atau Chairil Anwar, perlu waktu setidaknya lima tahun untuk cetakan kedua, dengan tiras hanya sepertiganya. Untuk mencapai prestasi novel-novel teenlit itu yang terjual sampai puluhan ribu kopi dan dicetak berkali-kali, seorang sastrawan yang punya nama perlu waktu 90 tahun untuk bisa menyamainya.
Luar biasa. Novel-novel teenlit itu begitu digemari. Para ABG (mengambil istilah sinetron-sinetron di Indonesia) berbondong-bondong menyerbu toko buku-toko buku lokal terdekat, membeli novel teenlit keluaran terbaru, pulang kerumah, selesai membacanya dalam hitungan hari, menyebar luaskan betapa luar biasa bagusnya cerita dalam novel itu pada teman-temannya yang kemudian berbondong-bondong ikut membeli, lalu kemudian kembali ke toko buku untuk membeli novel teenlit terbaru lainnya.
Apa yang membuat novel-novel chicklit dan teenlit ini begitu populer, begitu digemari dan bahkan dikatakan menjadi pembangkit kembali minat baca di Indonesia? Jawabannya, sayangnya membuat gw tertawa terbahak-bahak sambil mengerutkan kening seperti yang terjadi ketika gw mendengar jawaban-jawaban yang diberikan para kontestan Miss. Indonesia di RCTI kemarin malam. Sungguh bodoh.
Pertama, katanya novel-novel teenlit dan chicklit itu menjadi sangat digemari karena novel-novel itu bercerita mengenai kehidupan yang sangat dekat dengan kehidupan remaja, kalau tidak bisa dibilang jelas-jelas sama. Tema-tema yang diangkat adalah tema-tema yang sangat dekat dengan kehidupan remaja, sebagai tentunya pangsa pasar utama buku-buku berjenis ini, yaitu cinta dan... dan apalagi ya... umm... tidak ada. Hanya cinta. Cinta yang pelik, cinta yang melatarbelakangi bermacam-macam konflik, seperti merebutkan si idola juara basket di sekolah, atau diperebutkan dua (atau lebih) cowok gaul tajir oke banget gitu lohhh (mengutip salah satu line di teenlit tersebut). Cinta yang sungguh memusingkan, cinta yang membuat melayang, cinta, cinta dimana-mana, hanya cinta saja (mengutip salah satu judul buku teenlit tersebut, Nothing but Love). Hampir tidak ada tema-tema sosial yang diangkat oleh novel-novel laris mahapopuler tersebut. Masalah kemiskinan di sudut-sudut kota, misalnya, atau perdagangan anak yang masih merajalela, atau setidaknya tema-tema cukup klise seperti narkoba atau seks bebas lah, yang, paling tidak, meskipun klise, bisa menjadi sebuah studi sosial mengenai kecenderungan perilaku remaja di kota-kota besar. Tapi ya itu tadi, nggak ada sama sekali. Semuanya tentang cinta.
Alasan kedua yang melatarbelakangi kesuksesan novel-novel tersebut konon karena bahasa yang disajikan sungguh jujur dan apa adanya. Lagi-lagi begitu dekat dengan kehidupan remaja. Mereka bertutur serupa dengan remaja bertutur. Simak saja pendapat Dyan Nurandya alias Dichiel, 19 tahun, pengarang chicklit berjudul Dealova yang novelnya sudah terjual lebih dari 40 ribu eksemplar, mengantongi royalti 100 juta plus 20 juta dari rumah produksi yang ingin mengangkat novelnya ke layar lebar; “Aku nggak pikir bahasa. Tata bahasaku kacau, nilai bahasaku aja jeblok. Toh bahasa yang tidak dibuat-buat dan tampil apa adanya justru jadi khas teenlit yang laris manis.” Luar biasa.
Alasan ketiga rupanya lebih lucu lagi. Konon, chicklit dan teenlit lokal itu laris manis karena kemasannya (baca: cover) yang cantik dan berwarna-warni menarik hati. Cover ini, rupanya lebih penting dari isi cerita dalam mendeterminasi penjualan buku tersebut. Setidaknya inilah yang diakui para remaja-remaja pembeli chicklit dan teenlit tersebut. Hmm, mungkin mereka menganut pepatah lama... don’t judge a book, buy its cover!
Menurut gw, disitulah letak pembodohan besar-besarannya. Bagaimana bisa sebuah buku begitu laris, dibaca dan digemari begitu banyak remaja sampai-sampai berulangkali dicetak ulang dan difilmkan atau disinetronkan, karena alasan sesimpel ‘mengangkat tema yang sangat dekat dengan kehidupan pembacanya’. Kalau cerita-cerita yang diangkat itu begitu serupa dan dekat dengan kehidupan remaja tersebut, apa yang bisa diperoleh dari membaca buku itu? Tidak lebih dari sekedar pembodohan terorganisir yang menciptakan sebuah generasi simplistik yang menyukai hal-hal superfisial, dangkal dan tidak perduli pada sekeliling.
Katakanlah begini. Seorang anak SMA dengan kehidupan SMA nya. Dia pergi kesekolah, bertemu dengan teman-temannya, duduk di dalam kelas menyerap pelajaran-pelajaran bersifat teoritis yang kemungkinan besar tidak akan berguna banyak bagi kehidupannya di masa depan. Lalu dia pulang, dan membaca buku. Tebak apa yang dia baca? Sebuah buku yang menceritakan tentang dirinya, teman-temannya, kehidupan sekolah yang sama persis, dengan bumbu-bumbu cinta romantis yang alangkah menyenangkannya apabila bisa terjadi di kehidupan nyata. Yang terjadi adalah, dia terperangkap dalam kehidupan simplistik yang superfisial itu, tidak ada jalan keluar, karena toh dia terkungkung dalam sudut pandang yang itu-itu saja. Tidak ada petualangan baru yang bisa dia selami, sudut pandang berbeda yang membuat dia terbelalak dan berpikir, atau karakter menarik yang bisa ia amati pola pikirnya. Tidak ada. Semuanya mati. Semuanya tenggelam dalam pembodohan generasi yang disambut dengan suka cita oleh kaum kapitalis yang kemudian menunggangi pembodohan itu, mencetak lebih banyak lagi kebodohan dan bersenang-senang diatas uangnya.
Sebaliknya, bayangkan pikiran apa yang mungkin menari-nari di kepala si anak SMA itu kalau dia membaca bagaimana seorang anak kulit hitam yang seumur hidupnya dianggap dan menganggap dirinya buruk rupa, diperkosa oleh ayahnya, lalu mendadak menginginkan sepasang mata biru cerah untuk mengganti mata hitamnya yang selalu melihat kekelaman (The Bluest Eyes, Toni Morrison)? Atau sensasi apakah yang mungkin ia rasakan ketika seluruh indranya seakan diajak menikmati pegunungan Pyrenes di Navarra oleh Hemingway? Atau mungkin apa reaksinya ketika sang psikopat mati-matian membela diri dengan alasan yang tidak masuk akal di cerpen Poe? Atau Shakuntala yang menari telanjang untuk melepaskan sosok-sosok dengan berbagai macam jenis kelamin di Larung, Ayu Utami? Bayangkan pengalaman yang ia peroleh, sudur pandang yang bisa ia selami, petualangan yang bisa ia temui, lewat membaca? Tapi tentunya semua itu mati, terututup seperti gerbang yang digembok rapat, karena pembodohan yang memakai bendera teenlit atau chicklit itu. Para remaja itu berpesta, atas sesuatu yang kosong saja.
Lalu mengenai bahasa, tentu tidak salah kalau bahasa slank, atau katakanlah bahasa pergaulan digunakan dalam sebuah karya sastra, sepanjang berada dalam konteks dan proporsi yang sesuai. Tapi membuat propaganda bahwa bahasa teenlit dan chicklit adalah bahasa yang jujur dan apa adanya, oleh karena itu layaklah untuk digemari, secara tidak langsung menciptakan sebuah notion bahwa novel-novel sastra lainnya, tidak mengusung bahasa yang jujur dan apa adanya, berbelit-belit mendeskripsikan sesuatu yang kemudian pada akhirnya menciptakan kerumitan semata serta tidak layak untuk digemari. Dan menurut gw, notion yang timbul dari propaganda ini sangatlah tidak bijaksana dan lagi-lagi merupakan bentuk pembodohan bagi para remaja-remaja itu. Sebab, tentu saja pengalaman membaca dan mencerna sebuah karya sastra, menguak simbol yang tersirat secara implisit di dalam sebuah cerita merupakan juga sebuah perjalanan yang layak dilewati, dan sungguh tidak bijak menganggapnya tidak jujur dan tidak apa adanya, siapa pula mereka yang bisa memberikan definisi jujur dan apa adanya itu?? Kalau propaganda ini diteruskan, maka anak-anak remaja itu akan menganggap bahwa bahasa yang layak dan pantas adalah bahasa yang dikatakan ‘jujur dan apa adanya’ seperti yang terdapat pada novel-novel teenlit dan chicklit itu, sehingga otak mereka akan larut dalam simplisistisme bahasa tersebut dan urung berusaha untuk mengkaji kedalaman sebuah cerita yang tidak bertutur dengan eksplisit. Otak mereka akan beku, dan sungguh sangat mungkin mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang cenderung menggampangkan dan superfisial karena mereka hanya menyukai sesuatu yang bersifat dangkal dan permukaan saja.
Sedangkan mengenai masalah cover dan kalimat dont judge a book, buy its cover itu, rasanya nggak perlu gw komentari lagi. Selamat buat para kapitalis yang begitu cermat memanfaatkan situasi dan menyebarluaskan jaring kebodohan di Indonesia.
Jadi menurut gw, yang ada sekarang sama sekali bukan wujud meningkatnya gairah membaca dan menulis karya sastra di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Tapi memuncaknya pembodohan dan semua orang, herannya, mengangkat gelas dan bersulang diatasnya. Selamat untuk semua, mari Ibu-Ibu, Bapak-Bapak, atau siapa saja, berikan anak, adik atau tetangga kalian uang saku, dan biarkan mereka membuat otak mereka sendiri menjadi bebal dan dangkal, sambil memberi makan para kapitalis kemaruk.
---sisie---
Sun, Feb 20 05
Konon, katanya, inilah zamannya dimana semua orang mulai kembali suka membaca, bahwa membaca buku akhirnya menjadi tren, dan semua orang, terutama generasi muda, berlomba-lomba menghabiskan lembar demi lembar rupiah untuk membeli buku, atau kalau pun belum punya uang pada saat itu, bisa bersesak memenuhi toko buku-toko buku lokal setempat lalu bersegera ke depan rak-rak yang memuat novel-novel untuk kemudian melahap buku sambil berdiri.
Mari angkat gelas dan ikut bersuka? Nanti dulu. Menurut gw, yang terjadi bukannya kebangkitan kembali gairah dan budaya membaca di kalangan masyarakat, tapi pembodohan generasi besar-besaran.
-sigh-
Minggu pagi ini gw beli Koran Tempo, artikel utamanya diberi judul ‘Sastra Jerawat’ membahas tentang chicklit, teenlit, atau apapun namanya, yang sedang happening (meminjam istilah Mtv) di kota-kota besar di Indonesia.
Katanya, novel-novel remaja lokal bertajuk chicklit atau teenlit yang diterbitkan itu, dengan bermacam-macam judul dan pengarang baru, terjual sampai puluhan ribu kopi, dan mengalami cetak ulang sampai berkali-kali hanya dalam tahun pertama penerbitannya. Sebuah prestasi yang luar biasa apalagi kalau kita mulai membandingkan dengan novel-novel sastra karangan sastrawan kenamaan. Mengutip pendapat Arswendo Atmowiloto, buku-buku karangan para sastrawan besar saja, semisal Putu Wijaya atau Rendra, atau Chairil Anwar, perlu waktu setidaknya lima tahun untuk cetakan kedua, dengan tiras hanya sepertiganya. Untuk mencapai prestasi novel-novel teenlit itu yang terjual sampai puluhan ribu kopi dan dicetak berkali-kali, seorang sastrawan yang punya nama perlu waktu 90 tahun untuk bisa menyamainya.
Luar biasa. Novel-novel teenlit itu begitu digemari. Para ABG (mengambil istilah sinetron-sinetron di Indonesia) berbondong-bondong menyerbu toko buku-toko buku lokal terdekat, membeli novel teenlit keluaran terbaru, pulang kerumah, selesai membacanya dalam hitungan hari, menyebar luaskan betapa luar biasa bagusnya cerita dalam novel itu pada teman-temannya yang kemudian berbondong-bondong ikut membeli, lalu kemudian kembali ke toko buku untuk membeli novel teenlit terbaru lainnya.
Apa yang membuat novel-novel chicklit dan teenlit ini begitu populer, begitu digemari dan bahkan dikatakan menjadi pembangkit kembali minat baca di Indonesia? Jawabannya, sayangnya membuat gw tertawa terbahak-bahak sambil mengerutkan kening seperti yang terjadi ketika gw mendengar jawaban-jawaban yang diberikan para kontestan Miss. Indonesia di RCTI kemarin malam. Sungguh bodoh.
Pertama, katanya novel-novel teenlit dan chicklit itu menjadi sangat digemari karena novel-novel itu bercerita mengenai kehidupan yang sangat dekat dengan kehidupan remaja, kalau tidak bisa dibilang jelas-jelas sama. Tema-tema yang diangkat adalah tema-tema yang sangat dekat dengan kehidupan remaja, sebagai tentunya pangsa pasar utama buku-buku berjenis ini, yaitu cinta dan... dan apalagi ya... umm... tidak ada. Hanya cinta. Cinta yang pelik, cinta yang melatarbelakangi bermacam-macam konflik, seperti merebutkan si idola juara basket di sekolah, atau diperebutkan dua (atau lebih) cowok gaul tajir oke banget gitu lohhh (mengutip salah satu line di teenlit tersebut). Cinta yang sungguh memusingkan, cinta yang membuat melayang, cinta, cinta dimana-mana, hanya cinta saja (mengutip salah satu judul buku teenlit tersebut, Nothing but Love). Hampir tidak ada tema-tema sosial yang diangkat oleh novel-novel laris mahapopuler tersebut. Masalah kemiskinan di sudut-sudut kota, misalnya, atau perdagangan anak yang masih merajalela, atau setidaknya tema-tema cukup klise seperti narkoba atau seks bebas lah, yang, paling tidak, meskipun klise, bisa menjadi sebuah studi sosial mengenai kecenderungan perilaku remaja di kota-kota besar. Tapi ya itu tadi, nggak ada sama sekali. Semuanya tentang cinta.
Alasan kedua yang melatarbelakangi kesuksesan novel-novel tersebut konon karena bahasa yang disajikan sungguh jujur dan apa adanya. Lagi-lagi begitu dekat dengan kehidupan remaja. Mereka bertutur serupa dengan remaja bertutur. Simak saja pendapat Dyan Nurandya alias Dichiel, 19 tahun, pengarang chicklit berjudul Dealova yang novelnya sudah terjual lebih dari 40 ribu eksemplar, mengantongi royalti 100 juta plus 20 juta dari rumah produksi yang ingin mengangkat novelnya ke layar lebar; “Aku nggak pikir bahasa. Tata bahasaku kacau, nilai bahasaku aja jeblok. Toh bahasa yang tidak dibuat-buat dan tampil apa adanya justru jadi khas teenlit yang laris manis.” Luar biasa.
Alasan ketiga rupanya lebih lucu lagi. Konon, chicklit dan teenlit lokal itu laris manis karena kemasannya (baca: cover) yang cantik dan berwarna-warni menarik hati. Cover ini, rupanya lebih penting dari isi cerita dalam mendeterminasi penjualan buku tersebut. Setidaknya inilah yang diakui para remaja-remaja pembeli chicklit dan teenlit tersebut. Hmm, mungkin mereka menganut pepatah lama... don’t judge a book, buy its cover!
Menurut gw, disitulah letak pembodohan besar-besarannya. Bagaimana bisa sebuah buku begitu laris, dibaca dan digemari begitu banyak remaja sampai-sampai berulangkali dicetak ulang dan difilmkan atau disinetronkan, karena alasan sesimpel ‘mengangkat tema yang sangat dekat dengan kehidupan pembacanya’. Kalau cerita-cerita yang diangkat itu begitu serupa dan dekat dengan kehidupan remaja tersebut, apa yang bisa diperoleh dari membaca buku itu? Tidak lebih dari sekedar pembodohan terorganisir yang menciptakan sebuah generasi simplistik yang menyukai hal-hal superfisial, dangkal dan tidak perduli pada sekeliling.
Katakanlah begini. Seorang anak SMA dengan kehidupan SMA nya. Dia pergi kesekolah, bertemu dengan teman-temannya, duduk di dalam kelas menyerap pelajaran-pelajaran bersifat teoritis yang kemungkinan besar tidak akan berguna banyak bagi kehidupannya di masa depan. Lalu dia pulang, dan membaca buku. Tebak apa yang dia baca? Sebuah buku yang menceritakan tentang dirinya, teman-temannya, kehidupan sekolah yang sama persis, dengan bumbu-bumbu cinta romantis yang alangkah menyenangkannya apabila bisa terjadi di kehidupan nyata. Yang terjadi adalah, dia terperangkap dalam kehidupan simplistik yang superfisial itu, tidak ada jalan keluar, karena toh dia terkungkung dalam sudut pandang yang itu-itu saja. Tidak ada petualangan baru yang bisa dia selami, sudut pandang berbeda yang membuat dia terbelalak dan berpikir, atau karakter menarik yang bisa ia amati pola pikirnya. Tidak ada. Semuanya mati. Semuanya tenggelam dalam pembodohan generasi yang disambut dengan suka cita oleh kaum kapitalis yang kemudian menunggangi pembodohan itu, mencetak lebih banyak lagi kebodohan dan bersenang-senang diatas uangnya.
Sebaliknya, bayangkan pikiran apa yang mungkin menari-nari di kepala si anak SMA itu kalau dia membaca bagaimana seorang anak kulit hitam yang seumur hidupnya dianggap dan menganggap dirinya buruk rupa, diperkosa oleh ayahnya, lalu mendadak menginginkan sepasang mata biru cerah untuk mengganti mata hitamnya yang selalu melihat kekelaman (The Bluest Eyes, Toni Morrison)? Atau sensasi apakah yang mungkin ia rasakan ketika seluruh indranya seakan diajak menikmati pegunungan Pyrenes di Navarra oleh Hemingway? Atau mungkin apa reaksinya ketika sang psikopat mati-matian membela diri dengan alasan yang tidak masuk akal di cerpen Poe? Atau Shakuntala yang menari telanjang untuk melepaskan sosok-sosok dengan berbagai macam jenis kelamin di Larung, Ayu Utami? Bayangkan pengalaman yang ia peroleh, sudur pandang yang bisa ia selami, petualangan yang bisa ia temui, lewat membaca? Tapi tentunya semua itu mati, terututup seperti gerbang yang digembok rapat, karena pembodohan yang memakai bendera teenlit atau chicklit itu. Para remaja itu berpesta, atas sesuatu yang kosong saja.
Lalu mengenai bahasa, tentu tidak salah kalau bahasa slank, atau katakanlah bahasa pergaulan digunakan dalam sebuah karya sastra, sepanjang berada dalam konteks dan proporsi yang sesuai. Tapi membuat propaganda bahwa bahasa teenlit dan chicklit adalah bahasa yang jujur dan apa adanya, oleh karena itu layaklah untuk digemari, secara tidak langsung menciptakan sebuah notion bahwa novel-novel sastra lainnya, tidak mengusung bahasa yang jujur dan apa adanya, berbelit-belit mendeskripsikan sesuatu yang kemudian pada akhirnya menciptakan kerumitan semata serta tidak layak untuk digemari. Dan menurut gw, notion yang timbul dari propaganda ini sangatlah tidak bijaksana dan lagi-lagi merupakan bentuk pembodohan bagi para remaja-remaja itu. Sebab, tentu saja pengalaman membaca dan mencerna sebuah karya sastra, menguak simbol yang tersirat secara implisit di dalam sebuah cerita merupakan juga sebuah perjalanan yang layak dilewati, dan sungguh tidak bijak menganggapnya tidak jujur dan tidak apa adanya, siapa pula mereka yang bisa memberikan definisi jujur dan apa adanya itu?? Kalau propaganda ini diteruskan, maka anak-anak remaja itu akan menganggap bahwa bahasa yang layak dan pantas adalah bahasa yang dikatakan ‘jujur dan apa adanya’ seperti yang terdapat pada novel-novel teenlit dan chicklit itu, sehingga otak mereka akan larut dalam simplisistisme bahasa tersebut dan urung berusaha untuk mengkaji kedalaman sebuah cerita yang tidak bertutur dengan eksplisit. Otak mereka akan beku, dan sungguh sangat mungkin mereka akan tumbuh menjadi manusia-manusia yang cenderung menggampangkan dan superfisial karena mereka hanya menyukai sesuatu yang bersifat dangkal dan permukaan saja.
Sedangkan mengenai masalah cover dan kalimat dont judge a book, buy its cover itu, rasanya nggak perlu gw komentari lagi. Selamat buat para kapitalis yang begitu cermat memanfaatkan situasi dan menyebarluaskan jaring kebodohan di Indonesia.
Jadi menurut gw, yang ada sekarang sama sekali bukan wujud meningkatnya gairah membaca dan menulis karya sastra di kalangan masyarakat, terutama generasi muda. Tapi memuncaknya pembodohan dan semua orang, herannya, mengangkat gelas dan bersulang diatasnya. Selamat untuk semua, mari Ibu-Ibu, Bapak-Bapak, atau siapa saja, berikan anak, adik atau tetangga kalian uang saku, dan biarkan mereka membuat otak mereka sendiri menjadi bebal dan dangkal, sambil memberi makan para kapitalis kemaruk.
---sisie---
Sun, Feb 20 05
Subscribe to:
Posts (Atom)